Majalah Gembala mempersembahkan:
BUDAYA JAWA DAN IDENTITAS GKJ
( Andreas Hutomo )
Cikal Bakal Gereja Kristen Jawa
Dalam Sejarah singkat Sinode GKJ diceritakan bahwa siang dan malam, sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan profesi buruh miskin, yaitu tukang membatik yang bekerja pada Ny. Van Oostrom Phillips di Banyumas, nekad berjalan kaki dalam rombongan kecil menerabas desa-desa dan pegunungan menuju ke kota Semarang, sejauh sekitar 300 km. Suatu perjalanan yang panjang untuk sekedar mendapatkan tanda Baptis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada tanggal 10 Oktober 1858. Kisah ini terjadi karena pemberian tanda baptis di Karesidenan Banyumas oleh zendeling tersebut dilarang oleh pemerintah kolonial setempat.
Mereka inilah cikal bakal pertama gereja yang di kemudian hari bernama GKJ Banyumas di desa Kedunguter-Kec. Banyumas. Gereja Kristen Jawa tumbuh pertama kali di kawasan Banyumas.
Cikal bakal kedua adalah dua orang lelaki dan tiga orang perempuan pekerja miskin pembantu rumah tangga Ny. Christina Petronella Phillips Stevens di Ambal-Purworejo yang menerima tanda baptis mereka di gereja Indische Kerk Purworejo pada tanggal 27 Desember 1860.
Dengan demikian harus jujur diakui bahwa cikal bakal dari Gereja Kristen Jawa adalah golongan akar rumput dan buta huruf. Mereka terdiri dari keluarga para pembantu rumah tangga dan buruh membatik serta anggota masyarakat kelas bawah boemiputera jaman kolonial yang paling rendah derajat sosialnya.
Yang juga termasuk sebagai cikal bakal Gereja Kristen Jawa adalah Jemaat Kiai Sadrach di Karangjasa pada tahun1870. Dalam waktu yang relatif singkat pada tahun 1873 jemaat Sadrach menjadi 2.500 orang. Pada tahun 1883 jemaat secara resmi memberi nama persekutuan mereka sebagai Golongane Wong Kristen kang Merdika. Pada tahun 1890 berkembang pesat menjadi 7.076 orang tersebar di Bagelen, Banyumas, Yogyakarta, Kedu, Pekalongan dan Tegal. Pada tahun 1928 pernah dibaptis sebanyak 787 orang jemaat, suatu prestasi yang luar biasa. Konon pada akhir hayatnya jumlah jemaat Sadrach mencapai 20.000 orang. Mereka itu juga orang-orang desa yang tinggal di pegunungan dan lembah yang termasuk golongan koeli kendho atau petani tanpa tanah dan sawah.
Untuk datang kebaktian jangan dibayangkan mereka naik andong dengan pakaian necis dan alas kaki seperti layaknya orang ke gereja waktu itu, tetapi hanya dengan pakaian seadanya sebagaimana layaknya seorang pembantu rumah tangga dan petani gurem atau buruh tani. Mereka memakai sarung atau kain, baju surjan dan kain penutup kepala atau iket. Apabila kebaktian dimulai maka penutup kepala itu ditanggalkan. Pengakuan Iman Rasuli dilantunkan dalam tembang Macapat sebanyak empat bait sementara doa Bapa Kami digubah dalam bentuk tembang Pucung yang terdiri dari tujuh bait. Mereka belajar agama Kristen maupun melantunkan kidung pujian atau tembang Jawa hanya bermodalkan ketrampilan menghafal. Itulah kelebihan mereka sebagai orang yang tidak bisa membaca atau buta huruf.
Kalau GKJ Banyumas sebagai cikal bakal Gereja Jawa kemudian mendewasakan diri, maka GKJ Purworejo merupakan GKJ yang pertama kali dinyatakan sebagai gereja dewasa di lingkungan Zending Gereformeed yang bekerja di wilayah Jawa Tengah Selatan tanggal, 4 Februari 1900 kemudian disusul GKJ Temon tanggal, 11 Maret 1900.
Semua Guru Injil gereja Jawa tempo doeloe dalam dokumen selalu ditulis dengan tambahan gelar atau sebutan Mas disingkat M. Misalnya Mas Kartodihardjo, ditulis M. Kartodihardjo, kecuali yang memang memiliki gelar Raden atau sudah mendapat gelar kapandhitan. Misalnya bagi Raden Darmodjo, ketika menjadi guru Injil tidak ditulis M. Raden Darmodjo atau Raden Mas Darmodjo namun cukup ditulis M. Darmodjo.
Dalam suatu konferensi para Pendeta Zending pernah mengusulkan agar pendeta-pendeta di gereja Jawa dipanggil atau disebut Pamulang. Namun dalam prakteknya ternyata mereka lebih suka memakai gelar Dominus/Dominee, disingkat Ds seperti sebutan para pandhita Olanda, misalnya Ds. Martojuwono. Tidak ada seorangpun yang mau memakai gelar Pamulang yang disingkat Pml, misalnya Pml. Martojuwono.
Budaya Jawa dan identitas GKJ
Berbeda dengan gereja lain misalnya Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB), yang mengikuti paham Nederlandsche Hervormde Kerk (NHK) atau Gereja Reformasi Belanda yaitu di dalam GPIB dikenal hanya satu gereja GPIB dengan banyak jemaat lokal. Sementara GKJ mengikuti paham Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN) atau Gereja-gereja Reformasi di Belanda yaitu di dalam GKJ dikenal satu himpunan GKJ dengan banyak GKJ. Secara retorik bisa dikatakan kalau GPIB hanya dikenal satu gereja dengan banyak jemaat, sebaliknya GKJ dikenal satu jemaat dengan banyak gereja. Dalam akta Sinode GKJ sering kita jumpai keputusan . . . diserahkan kepada pertimbangan Majelis Gereja setempat, artinya bisa saja keputusan satu Majelis GKJ berbeda dengan Majelis GKJ yang lain. Dan itu sah-sah saja.
Dalam makalahnya yang disampaikan oleh Pdt. Andreas Untung Wiyono dalam Temu Seniman dan Budayawan GKJ di Salatiga berjudul GKJ dalam tanggung jawab terhadap pelestarian dan pengembangan budaya Jawa dijelaskan, sebagaimana kehidupan yang bersifat dinamis, maka kebudayaan (termasuk adat istiadat dan kesenian) juga bersifat dinamis. Karena kebudayaan bersifat dinamis, maka identitas dari sebuah komunitas hidup (termasuk GKJ) yang banyak dipengaruhi oleh budayanya juga bersifat dinamis. Mengingat hal tersebut diatas maka sebagai GKJ, pertama-tama mestinya haruslah memiliki akar yang kuat didalam budaya Jawa. Dengan demikian identitas GKJ di tengah masyarakatnya menjadi jelas. Identitas GKJ yang mengakar didalam budaya Jawa tersebut selanjutnya perlu dipelihara dan dilestarikan agar terus berkembang sehingga memberi daya hidup bagi komunitas dimana GKJ berada.
Identitas GKJ yang mengakar didalam budaya Jawa bertumbuh serta berkembang sehingga mampu memberi daya hidup bagi komunitas dimana GKJ berada dan harus terbuka sehingga memberi ruang bagi proses transformasi kebudayaan.
Gereja perlu memiliki disain formasi kebudayaan yang jelas dan yang dipandang baik bagi pembangunan kehidupan bersama masyarakat dimasa depan. Untuk menyusun disain formasi tersebut diperlukan partisipasi para budayawan dan seniman GKJ sebagai bentuk pertanggung jawaban imannya. Tugas gereja sebagai institusi adalah memfasilitasi para Budayawan dan Seniman dalam aktifitas dan kreatifitas pelayanannya sehingga disain formasi kebudayaan yang dibuat dapat sungguh-sungguh dilaksanakan. Dalam rangka disain formasi kebudayaan tersebut pemanfaatan seni budaya Jawa dalam peribadahan GKJ tidak semestinya hanya dimaknai sebagi upaya untuk menjadikan dirinya memiliki akar yang kuat dalam budayanya sekaligus sebagai wujud tanggung jawab gereja dalam proses transformasi kebudayaan.
Gereja Kristen Jawa yang tumbuh dan berkembang di kalangan orang Jawa yang semula berada di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta kemudian meluas hingga sebagian wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Meskipun GKJ saat ini tidak lagi disebut sebagai gereja etnis/suku karena jemaatnya terdiri dari berbagai suku, namun karena keberadaannya di lingkungan orang Jawa maka GKJ merupakan persekutuan yang secara langsung terlibat dan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, pelestarian dan pengembangan budaya Jawa.
Budaya Jawa merupakan lahan sekaligus sarana bagi Pemberitaan Penyelamatan Allah, terlihat dari banyaknya budaya Jawa yang dilahirkan sebagai upaya untuk menjadikannya sarana Pemberitaan Penyelamatan Allah itu. Namun para pelaku budaya Jawa yang menjadi warga GKJ dimanapun juga masih belum tersentuh oleh rasa kebersamaan dalam bergereja di GKJ. Masing-masing budayawan dan seniman berkreasi untuk memuji dan meluhurkan nama Tuhan melalui gereja dimana mereka menjadi anggota, terlepas satu dari yang lainnya. Kreasi seni dan budaya Jawa berkembang diberbagai GKJ tanpa ada ikatan dengan yang lain, sehingga tumbuh secara sporadis. Padahal dalam kehidupan GKJ yang terkait dalam kebersamaan di Sinode akan lebih dapat mengembangkan budaya Jawa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam peribadahannya.
Banyak ragam kesenian Jawa yang dapat dipakai untuk memuji Tuhan dalam peribadahan. Tentu saja tinggal bagaimana para seniman dan budayawan itu bisa menempatkan diri di tengah jemaat yang majemuk. Segala sesuatu harus dicoba untuk melestarikan budaya Jawa ini, apakah memang bisa diselaraskan dengan situasi dan kondisi jemaat yang ada. Namun pada intinya budaya Jawa itu memang harus dipelihara, dilestarikan dan dikembangkan karena biar bagaimanapun GKJ adalah Gereja Kristen Jawa dan bukan Gereja Kristen di Jawa.
*dari berbagai sumber