BURUNG DEWATA PINTAR BICARA

Gembala punya cerita

BURUNG DEWATA PINTAR BICARA
(Andreas Hutomo)

Nun di Balairung Kerajaan Pancalaradya, Prabu Drupada sedang duduk di singgasana kencana alias kursi ukir dari Jepara dilapis emas dari Banjar. Dihadapannya duduk marikelu dengan takzim Patih Dresthaketu dan disampingnya duduk Raden Trusthajumena menunggu titah Sang Prabu. Sang Prabu Drupada sedang risau memikirkan putri sulungnya Dewi Drupadi yang cantik bak bidadari turun dari langit meniti pelangi turun mandi seperti lagu kroncong Dewi Murni.
Banyak Raja atau Putra Raja yang gandrung-gandrung kapirangu karena tergiur kecantikannya, namun belum ada yang diterima dengan pasti karena harus di screening lebih dulu latar belakangnya, bobot-bibit dan bebet-nya dan masing-masing punya tabiat bagaimana yang sama sekali  belum diketahui oleh Sang Prabu.
Namun beda pendapat dengan Dewi Drupadi, siapapun berhak menjadi suaminya asal bisa mengalahkan imu dari Burung Dewata, burung piaraan kesayangannya yang pandai bicara.
Bukan burung sekedar pintar ngoceh, tapi memang pintar bicara seperti layaknya manusia bahkan berani debat di acara Mata Najwa. Anda tak perlu heran wong ini cerita wayang, kok.
Ditengah perbincangan tersebut ujug-ujug datang Patih Sengkuni dari negeri Astina beserta beberapa anggota Kurawa tanpa diundang.

“Mohon maaf Sang Prabu, saye Sengkuni mohon perkenan menghadep Paduka.”
“Ada masalah apa tiba-tiba Patih Sengkuni datang kesini?”
“Kami keraya-raya menghadep Paduka kerena diutus Prabu Anom Kurupati, nyang intinya pengin nglamar Dewi Drupadi buat kakang Pendita Durna.”
“Baik, sampaikan pada Prabu Anom Kurupati bahwa lamarannya diterima dengan catatan bisa mengalahkan ilmunya Burung Dewata.”

Segera Sengkuni pamit dan mundur alon-alon kembali ke kerajaan Astina untuk segera lapor Prabu Anom Kurupati, sementara Sang Prabu Drupada memerintahkan Patih Dresthaketu untuk mewartakan sayembara dari Dewi Drupadi tersebut baik melalui Warta Jemaat, koran lokal, radio FM Stereo dan TVRP alias TV Republik Pancalaradya.

Di dalam Tamansari, Permaisuri Dewi Gandawati dihadap Dewi Drupadi dan Dewi Wara Srikandhi beserta para emban dan cethi. Kemudian datang Sang Prabu Drupada menyampaikan bahwa sayembaranya Dewi Drupadi sudah diwartakan. Kemudian Sang Prabu masuk  Sanggar Pamelengan atau ruang meditasi untuk mohon petunjuk Dewata.

Dalam Pasewakan Agung Negara Astina Prabu Anom Kurupati duduk dengan gagahnya dihadap Pandita Durna, Adipati Karna dan 80 Kurawa karena yang 20 orang ikut Patih Sengkuni ke Negeri Pancalaradya. Dalam perbincangan itu tidak ada lain kecuali ngomongin masalah keinginan Pandita Durna untuk memperisteri Dewi Drupadi.
Kemudian mak bedunduk Patih Sengkuni datang menghadap sambil menggehmenggeh disertai rombongan.

“Bagaimana hasil perjuanganmu ke negeri Pancalaradya, Patih Sengkuni?”
“Mohon ampun Sang Prabu Anom, ternyate kami sensus eh sukses!”
Tiba-tiba Pendita Durna terbahak-bahak sangking girangnya.
“Ee, lolee-lole. . . ciu sak botole. Aku sida rabi he .  .  he  .  .  .”
“Tapi ada syaratnye Wakne Gondhel, harus bisa mengalahken ngelmunya Burung Dewata.”
“Ee. Lolee-lole .  .  lha wong cuma burung saja kok ditakuti. Ciu gambare manuk, aku melu mesthi entuk he .  . heee .  .  he!”

Pendita Durna segera berangkat ke negeri Pancalaradya diiringi Adipati Karna dan para Kurawa serta satu peleton Pam Swakarsa.

Di pertapaan Sapta Arga pagi yang cerah dan udara pegunungan yang segar itu Begawan Abiyasa sedang duduk santai sambil minum wedang jahe dan nyamikan tales rebus serta mendengarkan perkutut manggung, terasa nikmat sekali.
Kemudian datang Raden Permadi diiring para Punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong Raden Permadi menghadap Begawan Abiyasa karena ingin mohon penerawangan akan hilangnya saudara-saudaranya para Pandawa, yan lenyap bagai ditelan bumi.

“Premadi cucuku, sebenarnya saudara-saudaramu tidak hilang, tapi menghilang. Carilah mereka di negeri Pancalaradya, di situ kamu akan ketemu.”
Raden Permadi dan Punakawan segera mohon diri, meninggalkan pertapaan Sapta Arga.

Di tengah perjalanan mereka dicegat raseksa dan raseksi atau sepasang raksasa yang tinggi besar, rambutnya gimbal, matanya mendolo merah darah, taringnya panjang dan ngiler terus.
Terjadilah perkelahian yang dahsyat dan seru antara Permadi dan dua raksasa tersebut sehingga menimbulkan debu yang pekat menghalangi penglihatan. Akhirnya sepasang raksasa tersebut dapat dikalahkan dan berubah wujud menjadi Batara Komajaya dan Batari Komaratih.
Raden Permadi diwejang tentang ngelmu laku jantraning ngaurip atau roda kehidupan sampai mudheng tenan.   
Kemudian Raden Permadi dipermak atau didandani sehingga badannya lebih tinggi dan perkasa serta diberi nama Bambang Tubakarta. Diperitahkannya Bambang Tubakarta segera menuju Pancalaradya sedangkan Batara Komajaya dan Batari Komaratih segera take off menuju Kahyangan  Cakrakembang.

Di Balairung Istana negeri Wiratha, Prabu Matswapati sedang duduk di Singgasana Gading dari Zimbabwe, dihadap para putra Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka sementara Dewi Utari ijin. Dalam perbincangan itu antara lain membahas hilangnya para Pandawa dan sayembara Dewi Drupadi. Akhirnya disepakati Sang Prabu beserta para putra dan satu peleton Pasukan Raiders pergi ke negeri Pancalaradya, disamping mencari hilangnya para Pandawa juga diijinkan para putra untuk mengikuti sayembara.

Di istana Pancalaradya Prabu Drupada dihadap Patih Dresthaketu dan Putra Mahkota Trusthajumena sedang menerima tamu Prabu Mastwapati Raja Wiratha beserta para putra Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Inti pembicaraan adalah ingin mengikuti sayembaranya Dewi Drupadi. Belum selesai pembicaraan mak jedhul Pendita Durna datang beserta rombongan dan sudah siap untuk mengadu ilmu dengan Burung Dewata.

Dewi Drupadi yang sedang bercengkerema dengan para dayang segera dipanggil ke pasewakan sambil membawa burung Dewata.
Kemudian terjadilah dialog antara Pendita Durna dan Burung Dewata.
“Apakah yang saya genggam ini, Burung Dewata?”
“Hanya tasbih dari buah jenitri.”
“Berapa jumlahnya?”
“Jumlahnya 120 buah.”
.  .  .  .  .  .  .  .    .  .  .  .  .
Tanya jawab dilanjutkan dan berlangsung seru dan semua pertanyaan Pandita Durna bisa dijawab dengan jitu yang meyebabkan Pandita Duna menjadi marah, kesal dan malu karena dihadapan banyak peserta yang sebagian besar para Raja dan Putra Raja dikalahkan oleh seekor burung. Kemudian Pandita Durna menarik cundrik semacam pisau bermata dua dan berusaha menusuk Burung Dewata. Namun Burung Dewata dengan gesit menghindar dan langsung terbang keluar istana.
Melihat tingkah Pandita Durna yang kurang terpuji itu Prabu Drupada menjadi marah dan minta agar Pendita Durna menangkap burung Dewata dan kembali diserahkan kepada Dewi Drupadi.
Adipati Karna dibantu para Kurawa bersama-sama menguber Burung Dewata.

Di alun-alun Burung Dewata terbang berputar-putar seolah-olah ngece para Kurawa yang berusaha menangkapnya. Pada saat bersamaan datanglah Bambang Tubakarta di alun-alun beserta para Punakawan. Tiba-tiba Burung Dewata menclok alias bertengger di pundak Bambang Tubakarta. Para Kurawa mencoba merebut burung itu namun Bambang Tubakarta tidak mau memberikan sehingga terjadi perkelahian dan para Kurawa mundur teratur akibat gempuran Bambang Tubakarta yang menerjang bagai bantheng ketaton.
Kemudian Burung Dewata terbang dan bertengger di puncak pohon beringin yang paling tinggi, sementara burung Kutilang bersiul dipucuk pohon cempaka.

Di alun-alun ternyata Adipati Karna isin mundur alias nekat bertahan disitu meski sudah kalah, padahal sepur saja tidak isin mundur, dulu dari Purwosari ke Kartasura sepur jalannya mundur.
Burung Dewata dipanah oleh Adipati Karna hanya kena bulunya, kemudian Bambang Tubakarta gantian yang memanah dan kena, lalu Burung Dewata terjun bebas nyangsang di pundak Bambang Tubakarta dalam keadaan segar bugar kemudian hap .  .  .  lalu ditangkap.

Di istana Pancalaradya Prabu Drupada masih njagongi Prabu Matswapati beserta para putranya. Wajahnya kelihatan sedih karena Burung Dewata bertengger di puncak pohon beringin dan tidak mau turun kembali. Prabu Matswapati berusaha untuk menghiburnya.
Ketika sedang dilanda kesedihan datanglah Bambang Tubakarta menghadap serta membawa burung Dewata yang segera diserahkan kepada Prabu Drupada, kemudian dimasukkan kedalam sangkar emas bertatahkan berlian.

“Bergenjong-bergenjong waru doyong .  .  . wong ayu udele bodong .  .  .”

Semua terkejut karena Bathara Narada tiba-tiba mak jleg .  .  .  anjlog sakpenake dhewe di depan semua yang hadir di istana.
Batara Narada segera memerintahkan Bambang Tubakarta untuk memanah Burung Dewata beserta kurungannya dengan panah pusaka pasopati.
Terjadilah keelokan alias keajaiban karena Burung Dewata berubah wujud menjadi Raden Puntadewa, kurungannya berubah menjadi Raden Bratasena dan pakan serta omben burung menjadi Raden Pinten dan Tangsen. Kemudian Bambang Tubakarta melepas pakaiannya dan berubah menjadi Raden Permadi. Sebelum kembali ke Kahyangan Batara Narada berpesan kepada Prabu Drupada agar Dewi Drupadi diserahkan kepada Raden Puntadewa untuk menjadi isterinya.

Tiba-tiba mak bedhengus Patih Dresthaketu melaporkan bahwa Kurawa Astina ngamuk di alun-alun, dan tanpa ba-bi-bu Raden Bratasena melompat ke alun-alun ngamuk punggung sehingga para Kurawa Astina ngibrit ketakutan.

Akhirnya Prabu Drupada sekeluarga, Prabu Matswapati dan para putra serta Pandawa makan bersama di Rumah Makan Ampera.

 *sumber pewayangan 

Share