DEWI AMBA KORBAN CINTA

Gembala punya cerita

Dewi Amba korban cinta
(Andreas Hutomo)

Prabu Sentanu Raja Astina atau Gajahoya pagi itu bersama isterinya Dewi Gangga sedang menikmati indahnya pagi dan kicauan burung di taman kedaton sambil minum kopi cap kapal pecah dan nyamikan sukun goreng.

Tiba-tiba pandangannya tertarik pada sebuah koran Pos Kampung terbitan negara tetangga yang memuat iklan dengan gambar tiga putri cantik berjudul Sayembara berhadiah putri cantik.

Setelah tuntas dibaca, dipanggillah ketiga putranya untuk menghadap yaitu Raden Dewabrata, Raden Citranggada dan Raden Citrasena. Raden Dewabrata adalah putra Prabu Sentanu dengan Dewi Gangga sedangkan Citranggada dan Citrasena putra Prabu Sentanu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Lara Amis. Prabu Sentanu kemudian menjelaskan perihal Sayembara tersebut dan memerintahkan ke tiga putranya untuk mengikuti sayembara.

Raden Citranggada dan Raden Citrasena girang bukan main seperti pepatah Jawa rindhik kirik digitik mendengar perintah ayahandanya tersebut karena hadiahnya menarik banget yaitu putri cantik jelita nan sedap dipandang mata.

Namun tidak demikian halnya dengan Raden Dewabrata yang sama sekali tidak tertarik blas untuk mengikuti sayembara tersebut, justru karena hadiahnya putri-putri yang cantik.

Namun selaku anak yang paling tua dan dijadikan panutan oleh adik-adiknya maka agar tidak mengecewakan ayahandanya Dewabrata dengan setengah hati mengajak adik-adiknya untuk berangkat mengikuti sayembara tersebut. Agar segera sampai ke tempat tujuan maka mereka bertiga patungan untuk naik uber nya mas Endri Sekuriti sebagai pekerjaan sampingan.

Raden Dewabrata terlahir sebagai putra raja yang tampan dan perkasa. Dia juga berperangai sabar dan santun sehingga banyak emak-emak yang mimpi kepengin punya mantu Raden Dewabrata. Disamping itu Raden Dewabrata juga taat dan tekun berguru ilmu agal dan alus sehingga jadilah dia seorang ksatria sakti yang pilih tanding.

Mestinya Raden Dewabrata sebagai anak pertama menjadi Putra Mahkota, namun dulu ketika Dewi Durgandini akan dipersunting Prabu Sentanu dia bersedia dengan catatan apabila nanti anaknya lahir lelaki harus menjadi Putra Mahkota dan menggantikan Prabu Sentanu menjadi Raja. Prabu Sentanu yang waktu itu sedang kesengsem dan kasmaran berat dengan Dewi Durgandini yang semlohay, tanpa pikir panjang langsung saja menyanggupinya.

Nun di suatu kesempatan di tengah malam bulan purnama Raden Dewabrata dipanggilnya dan diceritakan kisah tersebut dengan nada sendu penuh penyesalan dan bahkan ada titik air mata Prabu Sentanu. Namun dengan jiwa besar dan legawa Raden Dewabrata menerima dengan hati yang lapang serta tulus dan ikhlas menerima keputusan tersebut.

Akhirnya ksatria yang tampan dan perkasa serta berperangai lemah lembut penuh kasih dan cinta damai itu memutuskan untuk tidak akan tinggal di istana serta tidak akan menikah karena ingin menjauh dari keduniawian dan ingin menjadi pendeta.

Padahal menurut diagnose dokter Boyke dan Naek L Tobing Raden Dewabrata sangat sempurna sebagai lelaki.

Tapi sumpah tetaplah sumpah dan Wayang yang tidak menikah untuk seumur hidup itu namanya wadat sama seperti Romo Pastur.

Oleh karena itu sebenarnya Raden Dewabrata sangat tidak berminat alias ogah banget untuk mengikuti sayembara. Lha emang kalau menang buat apa? Tetapi adik-adiknya mendesak dan merengek seperti anak kecil karena merasa tidak punya kesaktian yang memadai. Maka dengan wajah nyremimih minta dengan hormat dan sangat agar Dewabrata mengikuti sayembara. Nanti kalau menang hadiahnya buat adik-adiknya. Karena desakan adik-adiknya itulah Raden Dewabrata akhirnya dengan sangat terpaksa bersedia mengikuti sayembara.

Adalah Prabu Darmamuka raja kerajaan Swantipura yang punya gawe mengadakan sayembara itu karena putrinya yang kembar tiga dan cantik jelita dan bernama Dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika itu sudah menginjak usia dewasa. Prabu Darmamuka sebagai seorang raja sudah kepengin momong cucu, tetapi harus memilih calon menantu yang serasi dan seimbang serta jelas bobot, bibit dan bebet-nya dengan seleksi yang sangat ketat seperti seleksi calon Ketua KPK di DPR.

Kerajaan Swantipura mempunyai senopati raksasa kembar bernama Wahmuka dan Arimuka yang sakti mandraguna, konon tubuhnya tinggi besar hampir menyamai GSG dengan sepasang taring sepanjang satu depa. Dalam iklan sayembara disebutkan barangsiapa bisa mengalahkan Wahmuka dan Arimuka dalam pertandingan kelas bebas maka akan dikawinkan dengan ketiga putrinya. Tentu saja sayembara ini menyedot perhatian yang luar biasa baik dari masyarakat dari kerajaan Swantipura sendiri sampai kerajaan tetangganya Majapura, Jatipura dan Jayapura serta kerajaan yang cukup jauh seperti Astinapura. Sekali menang mendapatkan tiga putri yang cantik jelita sekaligus, merupakan rangsangan yang dahsyat dan hebat bukan main.

Nyari isteri satu saja susahnya bukan main lha kok ini malah ada tawaran tiga putri sekaligus. Tentu saja banyak yang spekulasi dan bonek siapa tahu ada hoky untuk bisa menang dalam pertandingan tersebut, kalah cacak menang cacak yang penting siap untuk dilakoni.

Soal kalah menang itu urusan belakang, sebab kalau diurus di depan biasanya batal.

Pada hari H berdatanganlah para peserta sayembara yang terdiri dari para ksatria, punggawa negara termasuk Satpol PP bahkan Banpol dan para Sekuriti termasuk bromocorah yang baru keluar penjara karena dapat remisi.

Arena pertandingan yang disiapkan di alun-alun lor sudah digenangi begitu banyak darah karena sebagian besar dari peserta ada yang cuma athuk-atheng ikut-ikutan saja dengan harapan bisa mboyong putri ayu.

Akhirnya para peserta dibantai habis oleh Wahmuka dan Arimuka, ada yang tangannya patah tiga tempat, tulang iganya remuk bahkan ada yang kepalanya terpisah dari badannya lalu ngglinding sambil mringis keluar arena. Itu memang sudah merupakan resiko yang sudah diniati untuk mengikuti sayembara hidup atau mati.

Ketika Wahmuka dan Arimuka sedang istirahat sambil nyedot rokok siong buatan Banyumas karena musuh sudah habis, tiba-tiba masuklah seorang ksatria muda tampan dan perkasa ke dalam arena pertandingan dengan tangan kosong. Dialah Dewabrata yang akan mengikuti sayembara hanya karena permintaan adik-adiknya. Dia melangkah dengan tegap, tidak nolah-noleh, pelan namun pasti.

Pertandingan antara Wahmuka dan Arimuka melawan Dewabrata segera dimulai dan penonton yang hampir bubar serta mau pulang segera balik kembali memenuhi area sekeliling arena pertandingan. Arena dibatasi dengan tali dari kulit kayu waru yang dipintal sehingga kuat sekali.

Pada suatu kesempatan ketika Wahmuka lengah oleh Dewabrata dihantam dadanya hingga pecah dan tewaslah dia. Sorak-sorai penonton mbata rubuh saking gemparnya, tapi tiba-tiba mayat Wahmuka dilompati Arimuka langsung seperti cao glethak . . . njenggelek urip maneh. Begitu seterusnya aneh bin ajaib, setiap ada yang mati lalu dilangkahi yang satunya hidup lagi. Tentu saja sesakti apapun Dewabrata lama-lama capek dengan sendirinya dan kewalahan juga.

Melihat kondisi kakaknya yang kritis karena kecapekan, Citranggada dan Citrasena menjadi resah gelisah dan galau, segera kirim WA minta petunjuk Bapak Presiden eh Kiai Semar.

Balasan yang diterima dari Kiai Semar, bahwa keris Dewabrata supaya dilumuri parutan kunyit.

Segera Citranggada dan Citrasena berlari mencari kunyit dan setelah dimamah lembut segera dilumurkan ke kerisnya Dewabrata. Tertusuk keris Dewabrata, Wahmuka tewas seketika dan Arimuka yang tidak sempat melompati Wahmuka segera ditusuk pula hingga tewas dan ajaibnya lagi, Wahmuka dan Arimuka berubah menjadi kakang kawah atau air ketuban dan adhi ari-ari dari ketiga bayi Amba, Ambika dan Ambalika.

Ketika pertandingan usai dengan kemenangan Dewabrata maka Prabu Darmamuka sesuai janjinya segera menyerahkan ketiga putrinya. Dewi Amba untuk Dewabrata, Dewi Ambika untuk Citranggada dan Dewi Ambalika untuk Citrasena. Citranggada dan Citrasena girang bukan main karena tidak mengeluarkan setetes keringatpun kecuali dengan hanya mamah kunyit saja dapat isteri yang cantik jelita. Namun tidak demikian bagi Dewabrata yang dilanda kebingungan dan serba salah, karena sesuai isi sayembara yang menang akan dikawinkan dengan putri Prabu Darmamuka. Padahal dia sudah bersumpah setia tidak akan beristeri seumur hidupnya.

Bagaikan buah simalakama, dimakan bapaknya mati, tidak dimakan ibunya yang mati seperti kata Buce Ambon manise yang bilang seng makan mati, makan seng mati.

Tapi kata teman saya Ngatno dari Ngunggahan-Eromoko kalau menghadapi buah simalakama itu gampang, diemut saja. Artinya dimakan juga enggak, dilepeh juga enggak.

Dalam kondisi kebingungan seperti itu akhirnya diputuskan bahwa dia tetap tidak akan menikah. Tentu saja hal ini membuat kecewa berat bagi Dewi Amba karena sudah terlanjur ceblok dhemen dengan ksatria tampan dan perkasa itu. Dewi Amba menjadi merajuk dan ngeyel, pokoknya Dewabrata harus mengawininya dan kemanapun Dewabrata pergi selalu dikinthili terus. Karena merasa risi diikuti terus, Dewabrata menakut-makuti Dewi Amba dengan menarik tali busur panahnya. Ndilalah kersaning Allah barangkali ada setan lewat, ternyata tanpa sengaja anak panah tersebut melesat mengenai dada Dewi Amba dan tewas seketika. Betapa terkejutnya Dewabrata melihat tragedi tersebut, dipeluk dan dipangkunya mayat Dewi Amba sambil ditangisi tenanan penuh penyesalan. Tiba-tiba mayat Dewi Amba lenyap tanpa bekas, kemudian sayup-sayup terdengar suara Dewi Amba di angkasa.

“Kakang Dewabrata yang aku cintai sepenuh hati, sekarang aku memang tidak bisa berkumpul

dengan kakang. Tetapi nanti bila tiba saatnya perang Bharatayuda kakang akan berhadapan dengan seorang prajurit wanita. Disitu aku akan menagih janji dan menjemputmu agar bisa bersama-sama hidup di Swargaloka.”

Dengan penyesalan dan kesedihan yang mendalam Dewabrata tertatih-tatih meninggalkan istana dan meninggalkan keduniawian, kemudian menjadi pertapa di Talkanda dan berganti nama menjadi Resi Bisma.

Pada perang Bharatayuda Jayabinangun Resi Bisma gugur di Tegal Kurusetra oleh panah seorang prajurit wanita bernama Wara Srikandhi yang dirasuki oleh roh Dewi Amba.

 

*sumber pewayangan

Share