INTEGRITAS MAJELIS

Majalah Gembala mempersembahkan:

INTEGRITAS MAJELIS
(Andreas Hutomo)

Di gereja manapun terutama Gereja Kristen Jawa, selalu timbul masalah ketika ada anggota Majelis yang akan lereh atau mengakhiri masa baktinya.
Seperti di ketahui dalam Tata Gereja bahwa : Masa jabatan Penatua dan Diaken dalam satu periode adalah 3 tahun dan dapat menjabat sebanyak-banyaknya dua periode berturut-turut serta dapat diusulkan kembali setelah lereh sekurang-kurangnya 1 tahun.
Namun kebanyakan Majelis yang akan lereh atau mengakhiri masa baktinya selalu mengeluh karena begitu sulit mencari penggantinya.
Banyak alasan yang diberikan diantaranya :
– Belum siap menjadi Majelis, karena tidak pinter ndonga.
– Kurang memahami isi Alkitab. Bahkan untuk mencari pasal dan ayat saja masih nunak-nunuk.
Tidak bisa berbicara di depan orang banyak, takut nanti blekak-blekuk.
– Tidak mempunyai waktu karena masih bekerja penuh alias sibuk.
– Merasa pendidikannya kurang memadai, minder ngadepi orang yang lebih pinter.
– Tidak mempunyai kendaraan dan rumahnya kecil, di gang becek lagi.
– Kalau menjadi Majelis itu menjadi sorotan jemaat, salah sedikit saja diomongin.

Yang menyedihkan adalah alasan klasik yang demikian:
“Maaf Pak, Bu, lainnya saja.”
Jawaban ini mengingatkan waktu saya masih kecil kalau ada pengemis yang meminta-minta, jawaban si empunya rumah:
“Sepurane, liyane mawon. Maaf, lainnya saja.”
Kasihan Majelis yang lereh yang sudah sekian lamanya melayani warga jemaat disamakan dengan pengemis, meski tidak dengan sengaja.   
Alasan-alasan tersebut di atas sebenarnya kurang mendasar dan akhirnya timbul jawaban lainnya saja.

Memang dalam Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ menyebutkan syarat untuk menjadi Majelis atau Penatua dan Diaken:
1. Warga dewasa yang tidak berada dalam penggembalaan khusus, serta dipandang layak untuk
    menjadi seorang Majelis.
2. Warga gereja yang tempat tinggal dan kehidupan sehari-harinya memungkinkan untuk
    melaksanakan tugas sebagai Majelis.
3. Memiliki pengetahuan Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, serta Tata Gereja dan Tata Laksana
    GKJ serta mentaatinya.
4. Sikap dan perilaku pribadi dan atau keluarganya tidak menjadi batu sandungan bagi warga
     gereja dan masyarakat.
5. Memiliki talenta di bidang pengorganisasian dan penggembalaan.
6. Bersedia dan mampu memegang rahasia jabatan.
7. Mau dan mampu bekerjasama dengan orang lain.

Tapi dari dulu warga gereja kita bahkan calon Majelis tidak mempunyai buku Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ, karena buku itu baru diberikan pada waktu pembekalan calon Majelis yang sudah terpilih, meski belum tentu dibaca juga.
Barangkali kalau warga jemaat sudah membaca dan tahu syarat-syarat untuk menjadi Majelis seperti tersebut diatas, akan lebih sulit lagi mencari calon pengganti anggota Majelis.    

Padahal siapapun bisa menjadi Majelis, tidak harus pintar atau kaya. Yang penting ada niat yang tulus  untuk melayani, masalah yang ada akan mencair sendiri seiring dengan jalannya pelayanan. Didalam syarat tersebut diatas tidak disebutkan berapa umur calon Majelis, tetapi harus sudah dewasa yang artinya sudah dibaptis kecuali Pendeta pada usia 60 tahun emeritus.
Karena jabatan Majelis adalah jabatan keterpanggilan sebagai jawaban iman.

Alkisah seorang warga jemaat, sebut saja namanya pak Sabar Abednego yang bekerja sebagai karyawan swasta akhirnya terpilih sebagai salah seorang anggota majelis setelah mengalami pergumulan yang cukup memakan waktu.
Namun pada akhirnya dia bersedia dan dengan mantap dia menjawab :
“Ya, dengan sepenuh hati.” Disaksikan oleh Tuhan dan segenap jemaat yang hadir.
Belum genap sebulan dia melayani jemaat sudah terdengar suara yang memerahkan telinganya justru dari warga jemaat di wilayahnya.
“Wong kaya ngono kok didadekake Majelis, apa ora ana wong liya.”
Karena dulu pak Sabar sudah menyatakan ya dengan sepenuh hati, omongan yang didengarnya itu tidak begitu dirasakannya, meski memang panas di kuping tetapi tetap dingin di kepala.
Lalu dia ngunandika atau berkata dalam hati : “Lho, waktu ada persiapan Perjamuan Kudus dulu ditanya untuk menjadi calon majelis kok diam saja. Giliran ada yang bersedia kok ngomongnya begitu.”
Tetapi kemudian pak Sabar ini sadar bahwa itu hanyalah godaan kecil saja dalam menjalankan tugas pelayanannya. Bahkan ada rasa nyaman di hatinya ketika melayani jemaat, apalagi terhadap warganya yang hidup sekeng atau kurang sejahtera.  Ada rasa kepuasan tersendiri bila dia bisa membantu, meski hidupnya sendiri cuma pas-pasan saja.
Dia mencoba memberi pengertian kepada keluarganya bahwa menjadi Majelis itu bukan pilihannya tetapi pilihan Tuhan. Hal ini disampaikan kepada isterinya yang tiba-tiba njegadul ketika minta diantarkan ke pasar tetapi dia nggak bisa mengantar karena harus membantu warganya yang kebanjiran.

Suatu saat ketika warganya ada yang mengadakan pesta ulang tahun, dia harus mendampingi Pendeta dalam pelayanan kebaktian tersebut karena teman majelis di wilayahnya sedang dinas ke luar kota, sementara majelis yang satunya sedang kurang sehat.
Karena bukan hari libur, sengaja hari itu dia minta ijin pulang lebih awal dari tempat kerjanya agar bisa datang tepat waktu pada kebaktian tersebut.
Namun ibarat pepatah untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, diperjalanan ndilalah ban sepeda motornya kempes sehingga harus nuntun motornya cukup jauh mencari tukang tambal ban. Bajunya sudak lepek basah oleh keringat yang mengucur deras, mukanya mengernyit menahan sakit ketika dirasa asam uratnya mulai kambuh sehingga terlambat sekitar setengah jam di kebaktian.
Pak Pendeta tersenyum saja mendengar penuturannya kenapa tiba terlambat dalam kebaktian itu. Tetapi tidak demikian dengan sambutan tuan rumah yang kebetulan wong sugih.
Ada rasa nyeri di hati pak Sabar ketika mendengar sindiran yang cukup tajam dengan senyum sinis ditujukan kepadanya. Pak Sabar pun menyadari bahwa bisa saja hal itu terjadi karena segala sesuatunya sudah disiapkan dengan susah payah lalu acara menjadi mundur gara-gara majelisnya terlambat datang.
Kebaktian berjalan dengan lancer, apalagi khotbah pak Pendeta cukup menyejukkan dan menggembirakan hati tuan rumah. Kini tiba waktunya makan malam yang kelihatan cukup wah.
Dia kebagian membawakan doa makan malam, dan doanya cukup singkat bahkan terasa sangat singkat. Ketika warga yang lain makan dengan nikmat dan lahap nya, tidak demikian dengan Pak Sabar. Tiba-tiba mendadak perutnya terasa menjadi kenyang dan makanan wah yang coba dinikmatinya terasa seperti sekam dan minuman menjadi pahit rasanya.
Sampai di rumah segera dijatuhkannya badannya yang sudah lepek itu di kursi dan kembali ngunandika :
“E, ya talah temen. Dadi majelis pisan wae kok tansah ora ketrima.”
Tetapi dia segera sadar bahwa iblis selalu berusaha untuk menggoda dan mencobai orang yang berusaha untuk berbuat baik, dan segera dia berdoa mohon ampunan Tuhan agar diberikan keteguhan dan kesabaran dalam melayani jemaat.

Pagi itu cuaca cerah, secerah wajah-wajah para majelis yang sedang mengadakan retreat khusus majelis. Canda ria yang selama ini tertahan karena seriusnya melayani jemaat, tumpah ruah dalam kebebasan. Tampak begitu ceria seperti anak kecil mendapatkan mainan baru. Rasanya beban berat yang dirasakan selama ini menjadi jauh berkurang dan bernafas menjadi lega, tidak terkecuali yang dirasakan pak Sabar.
Acara malam itu ada pembicara dari luar yang cukup menarik dan agar tidak mengganggu acara  tersebut sebagian besar HP dari yang jadul sampai yang canggih dimatikan.

Menjelang senja keesokan harinya pak Sabar sampai di rumah senyum-senyum sembari menenteng oleh-oleh buat keluarganya. Tapi dia menjadi heran karena rumahnya sepi dan pintunya tertutup. Menurut tetangga, isterinya sedang mengantar anaknya ke rumah sakit, dan dia baru sadar bahwa HP butut nya belum di aktifkan sejak retreat. Segera dia menyusul ke rumah sakit, namun baru saja dia menongolkan wajahnya sudah keburu didamprat isterinya :
Enak ya, dadi majelis. Kono seneng-seneng, kene seneb setengah mati.”
Pak Sabar hanya njegreg diam terpaku, dan segera diurusnya anaknya yang sakit dan ternyata kena demam berdarah. Kembali pak Sabar mengelus dadanya yang kerempeng.

Periode pertama hampir selesai dan pak Sabar segera menyerahkan kepada pak Pendeta untuk mencarikan penggantinya, karena dia tidak bersedia lagi diperpanjang masa pelayanannya.
Sudah kenyang dia makan asam garam nya menjadi majelis dan melayani jemaat yang ternyata menjadi semakin manja.
Ketika pertemuan dalam rangka pisah sambut antara majelis yang lereh dan majelis yang baru pak Sabar merasakan beban yang dipikulnya selama ini menjadi hilang dan tiba-tiba tanpa sadar dengan suara  lantang dia menyanyikan sepenggal lagu dari Kidung Pasamuwan Kristen yang berjudul Tinebus babar pisan :

“Uwal sing laknat, iba begjaku . . . . . “