Cerita Rakyat
KI AGENG LAWU
(Ode Pamungkas)
Pada suatu waktu Bhre Kertabhumi atau Brawijaya V mendapatkan hadiah seorang Putri dari negeri Cina yang cantik jelita berkulit mrusuh. Brawijaya begitu terpesona akan kecantikannya sehingga Putri Cina itu diambilnya sebagai selir. Ketika Putri Cina ini sedang mengandung muda, Sang Permaisuri protes keras kepada Sang Prabu sehingga akhirnya Putri Cina itu dihadiahkan kepada Arya Damar yang menjadi Adipati di Palembang. Arya Damar menerima dengan setengah hati, namun setelah bayi lahir yang kemudian diberi nama Jin Bun barulah Putri Cina itu diperisteri Arya Damar dan melahirkan lagi seorang putra diberi nama Raden Husen. Sedangkan Jin Bun belakangan diganti namanya menjadi Raden Patah.
Ketika Arya Damar merasa sudah semakin tua berniat lengser keprabon dan ingin menjadi Pertapa. Dimintanya agar Raden Patah menggantikannya menjadi Adipati sementara Raden Husen sebagai patihnya. Namun Raden Patah tidak bersedia dengan alasan masih terlalu muda untuk menjabat sebagai seorang Adipati, yang membuat Adipati Arya Damar marah besar. Karena takut akan kemarahan Sang Adipati maka Raden Patah diam-diam meninggalkan Kadipaten menuju pantai, kemudian disusul adiknya Raden Husen. Keduanya sepakat merantau ke tanah Jawa untuk mengabdi kepada Prabu Brawijaya di Kerajaan Majapahit.
Dengan naik kapal sampailah Raden Patah dan Raden Husen di pelabuhan Surapringga dan dilanjutkan ke Ampel Denta (Surabaya), kemudian keduanya berguru kepada Sunan Ampel (Bong Swi Hoo). Selesai berguru, Sunan Ampel memerintahkan Raden Patah dan Raden Husen menuju ke barat, dan bila menemukan hutan yang banyak ditumbuhi ilalang yang baunya wangi agar membangun rumah disitu. Sesampai di hutan itu Raden Patah membangun rumah dan dalam waktu singkat berdatanganlah orang untuk tinggal disitu sehingga menjadi padukuhan. Selanjutnya padukuhan itu diberi nama Glagahwangi. Namun Raden Husen yang memang dari awal berniat mengabdi kepada Prabu Brawijaya segera meneruskan perjalanannya dan mengabdi sebagai prajurit tamtama. Karena kepandaian dan kesaktiannya maka Raden Husen kemudian diangkat menjadi Adipati dan diberi nama Adipati Terung.
Dalam Pasewakan Agung di istana Majapahit Prabu Brawijaya yang mendengar di Glagahwangi ada pendatang baru dan terkenal dimana-mana lantas bertanya kepada para pejabat istana siapakah gerangan orang itu. Adipati Terung kemudian meyampaikan bahwa yang berada di Glagahwangi itu kakaknya yang bernama Raden Patah. Segera Adipati terung diperintahnya untuk memanggil Raden Patah diiringi sejumlah prajurit pilihan.
Sampai di Glagahwangi Adipati Terung bertemu kakaknya, Raden Patah yang diminta agar datang ke Majapahit. Pada awalnya Raden Patah enggan karena dia sudah memeluk Agama Islam dan berbeda keyakinan dengan Prabu Brawijaya. Namun atas desakan Adipai Terung yang menyatakan bahwa Glgahwangi adalah wilayah dari Kerajaan Majapahit maka berangkatlah Raden Patah bersama Adipati Terung ke Majapahit.
Betapa terkejutnya Prabu Brawijaya ketika melihat Raden Patah yang wajahnya sangat mirip dirinya, kemudian ditanya asal-usulnya. Maka bukan main gembiranya Prabu Brawijaya karena ternyata Raden Patah adalah putranya dengan Putri Cina yang diserahkan kepada Arya Damar.
Saking gembiranya maka daerah Glagahwangi dihadiahkan kepada Raden Patah dan diberi nama Bintara, dan Raden Patah diangkat menjadi Adipati di Bintara.
Ketika Kadipaten Bintara semakin ramai dan kuat maka oleh Raden Patah dijadikanlah Kerjaan Islam Demak Bintara.
Prabu Brawijaya memasukkan Kerajaan Demak ke dalam Wilayah Majapahit, karena Glagahwangi itu memang wilayah Majapahit. Namun Raden Patah menolak bahkan berniat untuk memberontak ke Majapahit agar Prabu Brawijaya bersedia mengikuti keyakinannya.
Adipati Terung yang mendengar hal ini segera membulatkan tekatnya untuk bergabung dengan Raden Patah.
Setelah menghimpun kekuatan yang cukup besar antara lain bantuan dari Bupati Madura dan Bupati Surapringga serta Arya Teja dari Cirebon maka Raden Patah beserta pasukannya yang cukup besar menuju Majapahit dan mengepung istana.
Pada saat itu kerajaan Majapahit memang sudah mulai lemah karena pertikaian antar kerabat istana sehingga ketika penyerbuan terjadi, nyaris tidak ada perlawanan. Namun demi membela Negara bumi kelahirannya maka prajurit Majapahit bertahan dan melawan serbuan pasukan Demak. Perlawanan itu sia-sia karena jumlah musuh yang berlipat ganda menyebabkan ribuan mayat pasukan Majapahit bergelimpangan bersimbah darah memenuhi medan laga.
Patih Majapahit segera memohon kepada Prabu Brawijaya beserta kerabatnya menyingkir meninggalkan istana lewat jalan rahasia.
Ketika Raden Patah memasuki istana menjadi keheranan karena ternyata sudah kosong sama sekali, tak satupun yang tersisa. Raden Patah duduk menangis melihat keadaan yang tragis itu. Biar bagaimanapun juga Prabu Brawijaya adalah ayah kandungnya, kerabat istana adalah kerabatnya juga sehingga timbul rasa sesal namun hanya sesaat saja.
Konon rombongan Prabu Brawijaya yang melarikan diri berjumlah 111 orang, menuju ke arah barat. Ketika sampai di Ponorogo diterima Bupati Bathara Katong. Namun karena Bathara Katong sudah memeluk agama Islam sementara Sang Prabu Brawijaya tetap bersikukuh memeluk agama Hindu, Sang Prabu segera meninggalkan Kadipaten Ponorogo menuju arah barat dan sebagian lagi memilih tinggal di Ponorogo. Rombongan menjadi terpecah-pecah karena rupanya para prajurit Demak masih mengubernya. Sebagian ada yang ke Gunung Kidul sepert Ki Ageng Giring, Adipati Jayaningrat ke daerah Pengging yang Kemudian disebut Ki Ageng Pengging Sepuh menurunkan Ki Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga ayahanda Jaka Tingkir.
Ada Adipati yang berjalan terus ke barat menyusur pantai sampai daerah Mangir yang selanjutnya disebut Ki Ageng Wonoboyo.
Sang Prabu Brawijaya beserta pengikutnya sampai ke kaki Gunung Lawu. Setiap Sang Prabu sempat istirahat di suatu tempat segera pergi lagi karena masih dikejar prajurit Demak dan segera berpindah ke tempat lain. Ketika Prabu Brawijaya tiba di desa Sukuh kabupaten Karanganyar kemudian membuat tempat peribadatan yaitu Candi Sukuh.
Namun sebelum candi Sukuh selesai dibangun, datanglah para prajurit Demak dan Sang Prabu terpaksa kembali lari ke arah timur. Sampai di desa Ceta –Jenawi, Sang Prabu berhenti dan kembali membangun tempat peribadatan yaitu Candi Ceta. Namun kembali lagi prajurit Demak yang dipimpin Adipati Cepu datang dan terjadilah pertempuran yang sengit di lereng Gunung lawu dekat Candi Ceta.
Konon Adipati Cepu mempunyai dendam pribadi dengan Prabu Brawijaya. Prajurit yang menyertai Prabu Brawijaya ditumpas habis, segera Prabu Brawijaya naik dan bersembunyi di sebuah gua di puncak Gunung Lawu sehingga Adipati Cepu dan pasukannya tidak bisa menemukannya.
Disitu Prabu Brawijaya yang merasa kesal diuber-uber terus kemudian bersumpah pada Adipati Cepu bahwa bila ada orang dari daerah Cepu atau keturunan Adipati Cepu naik ke Gunung lawu akan mendapat bencana dan bisa menemui ajal.
Di puncak Gunung Lawu ini Prabu Brawijaya bertapa ditemani abdi setianya Sabda Palon dan Nayagenggong. Beberapa tempat di sekitar puncak Gunung Lawu juga penah dipakai bertapa oleh Prabu Brawijaya antara lain Sendang Drejet yang dipakai mandi Prabu Brawijaya dan konon airnya bisa untuk mengobati berbagai penyakit. Kemudian Sendang Panguripan yang dipercaya mempunyai aura magis.
Prabu Brawijaya bertapa begitu tekunnya di sumur Jalatunda yang merupakan gua vertikal dengan tetap memegang teguh keyakinannya yaitu Agama Hindu yang dianutnya.
Disitulah akhirnya Prabu Brawijaya muksa atau hilang beserta raganya.
Orang-orang Kemudian menyebut Prabu Brawijaya V itu sebagai Ki Ageng Lawu.
*dari berbagai sumber