KIAI KRISTEN
 

Majalah gembala mempersembahkan :

KIAI KRISTEN
pengikutnya sekitar 20.000 orang
(Andreas Hutomo)

Orang sudah mengenal nama para Kiai yang terkenal seperti Kiai Hasyim Ashari, Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Mustofa Bisri,  dsb. dan semuanya Muslim, artinya Kiai Muslim.
Apakah betul ada Kiai Kristen? Kalau memang ada siapakah dia, soalnya rada aneh di kuping.
Warga GKJ Nehemia yang dewasa, setengah sepuh apalagi yang sudah sepuh pasti mengenal nama Kiai Sadrach karena sudah banyak tulisan mengenai Kiai yang satu ini.
Tetapi mungkin untuk golongan milenial belum dan tidak mengenal siapakah Kiai Sadrah itu.
Begitu terkenal dan uniknya Kiai Sadrach bahkan pada tahun 1985 kisah Kiai Sadrach ditulis sebagai disertasi untuk memperoleh gelar Doktor oleh C. Guillot dari Perancis dengan judul: L’Affaire Sadrach, Un Esai de Christianisation a Java au XIX e Siecle dan diterbitkan oleh Association Archipel, Paris.
Kemudian diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul: Kiai Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa diterbitkan oleh PT Grafiti Pers, Jakarta.
Disamping itu pada tahun 1988 Pdt. Soetarman, MTh juga menulis disertasi dengan judul: Sadrach’s Community and Its Contextual Roots dan diterbitkan 2 X oleh Penerbit Rodopi, Amsterdam.
Kemudian diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul: Komunitas Sadrach dan Akar-akar Kontekstualnya diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta bekerjasama dengan Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta.
Ada sedikit perbedaan antara tulisan yang dibuat C. Guillot dan Pdt. Soetarman.
Hal itu bisa dimaklumi karena C. Guillot mengikuti cara pandang dan pola pikir orang Eropa sedangkan Pdt. Soetarman dengan cara pandangnya sendiri sebagai orang Jawa.
Namun kedua buku ini menjadi begitu penting karena menceritakan tentang sejarah agama Kristen di Jawa, terutama mengenai penginjil Kiai Sadrach secara lengkap dan gamblang.
Kisah suksesnya seorang penginjil pribumi ini belakangan dianggap sebagai tokoh cikal-bakal pendiri Gereja Kristen di Jawa Tengah.    
Asal-usul Kiai Sadrach tidak begitu jelas diketahui, namun menurut sumber yang layak dipercaya seperti dari Adrianse, Yotham Martareja dan Hayting penginjil ini dilahirkan tahun 1835 di dekat Jepara pantai utara Jawa Tengah dengan nama Radin.
Radin muda kemudian meninggalkan tanah kelahirannya menuju arah timur karena waktu itu daerah Jepara dilanda wabah penyakit yang merenggut banyak nyawa.
Belajar ngelmu
Kemudian Radin bertemu dengan Kiai Kurmen atau Sis Kanoman seorang Guru ngelmu, dan radin pun menjadi muridnya. Radin belajar bagaimana cara menyembuhkan orang sakit dsb. dengan ngelmu yang berupa mantra atau doa-doa. Oleh Radin, Kiai Kurmen sudah dianggap sebagai bapak angkatnya.  
Setelah belajar ngelmu dari Kiai Kurmen maka Radin meneruskan perjalanannya dan pergi ke pesantren-pesantren untuk menyempurnakan ilmunya.
Perjalanan dilanjutkan ke Jombang yang desa-desa di sekitarnya merupakan kampung Kristen seperti Mojowarno yang didirikan oleh Jellesma,  Abisai Ditotruno dan Tosari serta desa Ngoro yang didirikan oleh Coolen.
Di pesantren Radin belajar membaca dalam Bahasa Arab dan bisa menulis huruf Arab pegon yang disesuaikan dengan fonetik Jawa, juga membaca dan menulis dengan aksara Jawa.
Meski sempat ketemu dengan Jellesma namun waktu itu belum ada ketertarikan Radin terhadap pengajaran Agama Kristen.
Menjadi Orang Kristen
Setelah sekian lama mengembara, maka Radin kembali ke daerah asalnya kemudian tinggal di Semarang di daerah Kauman dan memperdalam ilmunya dengan belajar kepada orang-orang Arab dan para Haji, kemudian menambahkan nama Arab menjadi Radin Abas.
Di Semarang Radin Abas bertemu kembali dengan guru ngelmunya Kiai Kurmen yang telah menjadi Kristen karena kalah dalam perdebatan dengan Kiai Tunggul Wulung.
Maka kembali Radin Abas berhubungan dengan orang-orang Kristen dan ajarannya karena waktu itu bagian utara Jawa Tengah merupakan pusat Kristen ke dua di Pulau Jawa setelah Jawa Timur.
Di daerah ini orang-orang Kristen terbagi menjadi dua, Kristen Jawa yang mengikut Kiai Tunggul Wulung dan Kristen Londo yang berada dibawah pengaruh misionaris.
Ketika Kemudian Radin Abas memutuskan untuk menjadi orang Kristen, tdak memilih salah satu dari golongan diatas. Namun dalam perjalanan waktu dia lebih memilih bergaul akrab dengn Kiai Tunggul Wulung setelah diperkenalkan oleh Kiai Kurmen.
Tahun 1865 Kiai Tunggul Wulung mengajak Radin Abas ke Batavia untuk menemui seorang pejabat tinggi Belanda yaitu Wakil Ketua Mahkamah Agung yang bernama Mr. Anthing.
Pada tahun 1863 waktu bertugas di Semarang Mr. Anthing sangat aktif dalam Kristenisasi di Jawa, dan di Semarang bertemu dengan Kiai Tunggul Wulung.
Ketika Kiai Tunggul Wulung pulang kembali ke Semarang, Radin Abas tetap tinggal di rumah
Mr. Anthing dan diambil anak angkat.   
Baptis di Batavia
Selama di Batavia Radin Abas menjalin kontak dengan pusat Kristenisasi ketiga di Pulau Jawa, terutama orang Belanda yang bukan anggota Genootscaap voor In-en Uitwendige Zending di daerah Bagelen.
Setelah tiga tahun berada di Batavia tepatnya tgl, 14 April 1867 akhirnya Radin Abas di Baptis oleh Pdt. Ader di Portugeesche Buitenkerk (sekarang Gerja Sion) yang terletak di belakang Setasiun Kota.
Radin Abas memilih nama Sadrach sebagai nama baptisnya, yang membuat orang Barat keheranan. Sesuai dengan anjuran pemerintah Belanda waktu itu, nama Baptis untuk orang Eropa diambil dari Perjanjian Baru sedangkan untuk orang pribumi diambilkan dari Kitab Perjanjian Lama. Karena pemerintah Belanda menganggap orang pribumi yang sudah menjadi Kristen tidak akan bisa melepaskan diri dari budaya dan adat istiadatnya yang diharamkan.
Setelah menerima baptisan Sadrach meninggalkan Batavia dengan berjalan kaki melewati Bandung, Cirebon terus ke Semarang. 

Ke Bagelen
Kedatangan Sadrach pertama kali ke daerah Bagelen digambarkan oleh Yotham sebagai berikut.
Sadrach pergi ke Kampung Tuksongo di kota Purworejo tempat tinggal Pandhito Steven-Philips, yang sebelumnya merupakan sinder perkebunan nila. Philips merupakan orang Belanda yang fasih berbahasa Jawa, demikian juga isterinya. Philips mengajarkan agama Kristen dan menjadi Pendeta seperti halnya isterinya. Philips dan isterinya menjalin hubungan baik dengan para penduduk pribumi dengan lemah lembut tidak seperti orang Belanda pada umumnya.
Philips mengerti dengan baik tentang pertanian, lumbungnya penuh dengan padi yang dimanfaatkan untuk membantu orang-orang Kristen Jawa. Karena Philips tidak mempunyai anak maka Sadrach kemudian diambil menjadi anak angkat dan dengan sukacita membantu Philips dan isterinya mengajar agama Kristen untuk orang-orang Jawa.
Kemudian Sadrach berangkat ke Kutoarjo, sekitar 10 km dari Purworejo dan menjelajah pelosok sekeliling Kutoarjo untuk memulai pekabaran Injil dengan gayanya sendiri.
Orang yang pertama didatangi Sadrach adalah Kiai Ibrahim yang tinggal di desa Sruwah sebelah utara Kutoarjo, dan Sadrach berhasil mengkristenkan Ibrahim. Sejak itu Sadrach tinggal di desa tersebut dan kemudian ketika Sadrach menyatakan keinginannya untuk mengajarkan agama Kristen di Karangjoso, Ibrahim mengantarnya ke desa itu. Yang ditemuianya adalah Kiai Kasanmentaram yang juga berasal dari Sruwah kemudian pindah ke Karangjoso.
Sadrach kemudian tinggal dirumah Kiai Kasanmentaram dan diterima dengan senang hati, karena ternyata keduanya sudah saling mengenal ketika keduanya sama-sama menuntut ilmu di sebuah pesantren di Jawa Timur. Kedua Kiai ini kemudian terlibat dalam perdebatan seru mengenai agama masing-masing berhari-hari tanpa mengenal waktu. Akhirnya pada suatu saat Kiai Kasanmentaram tersentuh juga hatinya dan dengan tulus masuk agama Kristen, dan kemudian Sadrach dipanggil dengan sebutan Kiai atau Kiai Sadrach.
Cara Kiai Sadrach menyebarkan agama Kristen yaitu dengan berjalan kaki kemana-mana dan mengunjungi guru-guru agama yang terkemuka di daerah itu serta meyakinkan mereka tentang ajaran agama Kristen. Jika tidak berhasil maka ditantangnya mereka untuk berdebat di depan umum untuk mengetahui siapa diantaranya yang lebih hebat ilmunya.
Kemudian kedua tokoh itu duduk saling berhadapan dan para muridnya duduk dibelakangnya. Peraturannya ialah, bila Sadrach kalah ia dengan sukarela akan kembali memeluk agama Islam.
Tetapi bila menang, maka lawannya harus masuk agama Kristen berikut para muridnya.
Kiai Sadrach berani menantang karena merasa ilmunya sudah lebih dari cukup, disamping memiliki ngelmu Jawa, dia juga pernah belajar di dua pesantren di Jawa Timur ditambah ilmunya yang baru yaitu tentang kekristenan. Oleh karena itu Kiai Sadrach tidak pernah kalah dalam debat beradu ilmu sehingga lawannya yang kalah segera memeluk agama Kristen beserta seluruh pengikutnya. Begitulah cara Kiai Sadrach mengkristenkan beberapa Kiai dalam waktu beberapa tahun saja, antara lain Kiai Ibrahim, Kiai Kasanmentaram, Kiai Coyontani dan Kiai Ronokusumo.
Perlu diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun suami-isteri Philips hanya berhasil mengkristenkan 29 orang termasuk wanita dan anak-anak. Diantara mereka adalah orang-orang yang bekerja di rumah keluarga Philips sebagai pembantu rumah tangga dan lain-lain. Orang-orang Kristen Jawa ini di gereja merupakan kelompok minoritas.
Berkat upaya Kiai Sadrach yang tak mengenal lelah, pengkristenan berlangsung dengan cepat.
Tanggal 6 Februari 1871 Pendeta Troostenburg de Bruijn membaptis Kiai Kasanmentaram bersama isteri dan 19 orang Jawa lainnya. Dalam kurun waktu 3 tahun Kiai Sadrach telah berhasil membaptiskan 612 orang di sekitar Bagelen. Selama tiga tahun tersebut kini orang Kristen Belanda terbalik menjadi kelompok minoritas di gerejanya.
Hal ini menyebabkan renggangnya hubungan kedua golongan yaitu orang Kristen Belanda dan orang Kristen Jawa. Akibat renggangnya hubungan ini orang-orang Jawa lambat-laun menjauhi upacara-upacara yang dilakukan di Gereja Purworejo, antara lain karena Bahasa Belanda yang digunakan dalam kebaktian tidak dimengerti oleh mereka, dan juga ada alasan yang lain.
Tahun 1871 Kiai Sadrach dengan bantuan pengikutnya membangun sebuah gereja dari kayu, yang merupakan gereja pertama di Karangjoso dan di situlah Kiai Sadrach memimpin kebaktian. Jemaat Kiai Sadrach mempunyai gaya kebaktian dan sistem ritual sendiri yang terikat erat dengan tradisi budaya Jawa yang ada. Mereka sama sekali tidak mengenal pakaian Barat seperti setelan jas, dasi, celana panjang dan topi. Mereka mengenakan busana Jawa yang terdiri dari kain sarung atau kain batik , surjan dan ikat kepala dari kain. Jemaat pria akan menanggalkan ikat kepalanya pada waktu mengiuti kebaktian. Karena mereka sebagian besar buta aksara alias tidak bisa membaca dan menulis, maka pujian dilantunkan dalam bentuk tembang yang iramanya rata-rata sudah mereka hafal, hanya syairnya yang bernuansa rohani.
Sebagai contoh untuk menghafal Sepuluh Perintah Allah digubah dalam tembang Kinanthi yang terdiri dari 18 pupuh (bait). Pengakuan Iman Rasuli dilantunkan dalam tembang Macapat yang terdiri dari 4 bait dan Doa Bapa Kami digubah dalam tembang Pucung yang terdiri dari 7 bait. Doa Pembukaan dilantunkan dalam tembang Dandhanggula yang terdiri 3 bait, Doa Pagi dilantunkan dalam tembang Maskumambang, Doa Makan menggunakan tembang Mijil dan Doa Malam dengan tembang Macapat yang terdiri dari 14 bait.
Penggunaan tembang dalam upaya mengkomunikasikan Injil memiliki arti yang sangat penting, karena tembang telah digunakan dalam kesusateraan Jawa selama berabad-abad, terutama digunakan dalam pengajaran moral dan etika.
Kemudian timbul masalah setelah para pekabar Injil Belanda mengadakan kontak dengan jemaat Kiai Sadrach. Para pekabar Injil itu tidak melihat manfaat adat Jawa dalam berjemaat dan menuntut supaya orang-orang bertobat dan meninggalkan praktek semacam itu.
Sebaliknya orang Jawa melihat adat sebagai sesuatu yang berharga yang sangat mempengaruhi pola kehidupan orang Jawa. Mereka berpendapat, menjadi orang Kristen tidak berarti harus menjadi Londo dan meninggalkan adat Jawa sebagai warisan leluhur dan identitas budaya mereka.
Jemaat Kiai Sadrach menolak pandangan bahwa adat akan memperbudak mereka dan karenanya berjuang dengan keras untuk melawan penilaian para pekabar Injil Belanda tersebut.
Kiai Sadrach dan para pengikutnya bersikukuh untuk melestarikan adat dan tradisi tersebut dan menjalankannya tanpa ragu-ragu karena merasa sudah disesuaikan dengan iman Kristen.
Para anggota jemaat menyadari sepenuhnya bahwa adat sebagai bagian dari kehidupan orang Jawa yang berfungsi memperkaya kehidupan spiritual jemaat.
Hal tersebut kemudian menimbulkan konflik antara para Penginjil Belanda dan Kiai Sadrach beserta para pengikutnya, karena Pekabar Injil yang lain mengatakan bahwa adat Jawa dianggap sebagai kekafiran dan bersifat takhayul.
Dalam penginjilan yang menggunakan pendekatan adat dan tradisi budaya Jawa tersebut Kiai Sadrach berhasil menjala dan membaptiskan ribuan orang.
Gereja Protestan Purworejo yang pada dasarnya diperuntukkan bagi orang Belanda kemudian membentuk sebuah komite paroki yang anggotanya terdiri orang-orang Belanda yang terpanggil untuk mengkristenkan orang Jawa. Tahun 1872 muncul konflik yang kemungkinan besar diakibatkan oleh sangat banyaknya orang Jawa yang menjadi jemaat gereja tersebut berkat Kiai Sadrach. Orang-orang Belanda menjadi kurang senang terhadap membanjirnya kaum pribumi di lingkungan mereka sehingga Gereja Protestan ingin memutuskan hubungan dengan orang-orang Kristen Jawa dan menerapkan sistem pemisahan secara rasial.
Betapa sakit hati Kiai Sadrach dan pengikutnya diperlakukan demikian oleh orang-orang Belanda bahkan Thieme, Pendetanya sendiri menutup pintu Gereja Purworejo bagi mereka.
Dalam keadaan yang demikian suami isteri Philips tetap mendukung Sadrach beserta pengikutnya dan secara bersama-sama mengorganisasikan sebuah turne atau perjalanan dengan mengundang Misionaris Vermeer untuk membaptis orang-orang yang masuk Kristen, memberkati perkawinan dsb.
Dalam perjalanan selama 17 hari itu sekitar 1.000 orang Jawa dibaptiskan.
Kemudian nyonya Philips jatuh sakit berkepanjangan sehingga tidak bisa lagi mendukung kegiatan Sadrach. Vermeer mengira bahwa orang-orang itu menyatakan diri masuk Kristen berkat dakwah pasangan suami-isteri Philips dan bukan oleh Sadrach. Ketika nyonya Philips tidak bisa melayani jemaat lagi maka Vermeer mengambil alih kedudukannya dan berupaya menggabungkan jemaat Sadrach di daerah Banyumas ke dalam kelompoknya.
Namun hal tersebut di tentang keras oleh Soleman, penyebar agama Kristen di daerah itu, karena pengikut Kiai Sadrach tidak berhubungan dengan Londo Kristen sementara hubungan antara Kiai Sadrach dan Soleman selama ini berjalan lancar.
Rupanya Misionaris Vermeer, seperti orang-orang Belanda lainnya menganggap enteng keberadaan Kiai Sadrach. Pertentanganpun menjadi semakin tajam. Akhirnya Vermeer minta bantuan Philips sebagai penengah antara dia dan Kiai Sadrach. Kiai Sadrach pun menyetujui dengan mengirim tangan kanannya Markus untuk berunding dengan Vermeer. Perundingan antara Vermeer dan Markus berkembang menjadi perselisihan sehingga hubungan Kiai Sadrach dengan Gereja-gereja Kristen sejak saat itu betul-betul putus. Kemudian Kiai Sadrach membangun gereja di Jambangan sebagai gereja ke tiga setelah Karangjoso dan Banjur. Gereja itu terletak di dekat rumah bekas gurunya yang kemudian di kristenkannya yaitu Kiai Coyontani.
Waktu itu tahun 1874 terdapat 2.500 orang pengikut Kiai Sadrach dari tiga gereja.
Kiai Sadrach kemudian menyempurnakan organisasinya karena jemaatnya yang makin meluas dan mengadakan pertemuan di Karangjoso antara pemimpin-pemimpin pelbagai jemaat dan kelompok setiap selapan (35 hari) sekali yaitu pada hari Selasa Kliwon.
Dalam organisasinya ia mencoba untuk mencampurkan unsur modern dan tradisional.
Segala keputusan diambil secara musyawarah antara para guru Injil dan para sesepuh yang menjadi wakil tiap kelompok. Wakil-wakil inilah yang setiap Selasa Kliwon datang ke Karangjoso, disitu mereka bertemu dengan para guru Injil keliling yang bertugas menjala pengikut baru dari desa ke desa. Di puncak organisasi ini Kiai Sadrach menggembalakan jemaatnya.
Pemerintah lokal di bawah pimpinan Residen Ligtvoet, beberapa kali berusaha memasukkan kelompok Kiai Sadrach ke dalam Gereja dan menempatkan mereka di bawah Pendeta, dengan demikian secara tidak kentara bermaksud menyingkirkan Kiai Sadrach. Hal ini dilakukan karena sebenarnya memang menjadi tugas seorang Residen untuk mengawasi perkumpulan para pribumi termasuk kelompok Kiai Sadrach. Dia juga berpendapat tidaklah layak apabila orang-orang Kristen hidup di luar gereja dan lepas dari pimpinan pendeta. Dia yakin bahwa masalah ini akan segera beres karena sebagai orang Jawa mereka akan tunduk pada keputusannya.
Namun ternyata Residen Ligtvoet menghadapai jalan buntu, karena pendeta yang diharapkan bisa membujuk Kiai Sadrach adalah Thieme yang pernah mengucilkan Kiai Sadrach dan pengikutnya.
Akhirnya Residen Ligtvoet mengambil dua keputusan yaitu mendatangkan kembali Pendeta Troostenburg de Bruijn dari negeri Belanda yang sebelumnya pernah disingkirkan karena kedekatannya dengan orang-orang Jawa termasuk Kiai Sadrach dan pengikutnya.
De Bruijn kembali ke Purworejo menggantikan Pendeta Thieme, dan pada saat itu otang Kristen Jawa berjumlah sekitar 3.000 orang.   
Kembalinya Troostenburg de Bruijn yang diangkat kedua kalinya sebagai Pendeta di Purworejo ternyata tidak bisa mengubah situasi yang ada saat itu. Kemudian didatangkanlah Bieger yang ditunjuk oleh NGZV atau De Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereniging atau masyarakat misionaris yang mengelola sebagian wilayah Jawa Tengah untuk menyebarkan Injil di Bagelen dan tinggal di Kutoarjo yang hanya berjarak 7 km dari Karangjoso.
Bieger kemudian menemui Kiai Sadrach dan menawarkan bantuannya untuk melakukan pembaptisan, penyelenggaraan ekaristi dan pengajaran agama.
Kedatangan Bieger ini mula-mula diterima Kiai Sadrach dengan baik. Naum ketika Bieger menghendaki untuk memperluas tugasnya ke bidang yang lain Kiai Sadrach menolaknya, sehingga tidak ada titik temu dalam percakapan tersebut. Rupanya Bieger ingin menguasai sepenuhnya orang-orang Kristen Jawa dengan atau tanpa Kiai Sadrach.
Konflik yang tajam terjadi antara Bieger yang didukung orang-orang Eropa dan aparat pemerintah dengan Kiai Sadrach. Orang kulit putih tersebut ingin mencopot kedudukan Kiai Sadrach sebagai guru Jawa. Pada awalnya dicoba menyelesaikan pertikaian tersebut dengan jalan damai diprakarsai Brower dengan mempertemukan Bieger dan Kiai Sadrach di rumahnya yang pernah ditempati Kiai Sadrach kemudian juga ditempati oleh Bieger.
Dalam beberapa kali pertemuan dengan Kiai Sadrach, Bieger mendesak agar mempercayakan seluruh jemaatnya kepadanya dan agar mengundurkan diri saja atau pulang ke Jepara.
Tentu saja Kiai Sadrach menolak mentah-mentah permintaan Bieger tersebut.
Berbagai cara diupayakan oleh Bieger dengan bantuan penguasa Kolonial bahkan dengan segala macam fitnah dan ancaman namun Kiai Sadrach tidak mengenal rasa takut kepada siapapun karena mengajak orang-orang Jawa masuk Kristen adalah panggilan Tuhan.
Oleh karena itu Kiai Sadrach tetap pada pendiriannya dan bersama pengikutnya mandiri sebagai Golongane Wong Kristen Kang Mardika.
Catatan:
Kiai Sadrach terlahir dengan nama Radin di daerah dekat Jepara sekitar tahun 1835.
Dibaptis tgl, 14 April 1867 oleh Rev. Ader, pendeta dari Indische Kerk, di Portugeesche  Buitenkerk-Batavia.
Meninggal pada tgl, 14 Nopember 1924 di Karangjoso pada usia 89 tahun dan pada saat itu jemaat Kiai Sadrach mencapai jumlah sekitar 20.000 orang.

*dari berbagai sumber