Seminar KSP3J – Mitos-mitos Anti Natal (16 November 2019)

25 DESEMBER DAN CHRONOGRAM ANNO 354 (DIALOG IMAJINER SINTERKLAS DAN BATHRIQ DIMITRI AL-ISKANDARI (Tulisan Ketiga)

Oleh Bambang Noorsena


1. KILAS BALIK
St. Demetrius I (Arab: البابا ديمتري الأول “Albaba Dimitri al-Awwal”) adalah Patriarkh Gereja Alexandria dan penerus yang ke-12 dari takhta suci Rasul Markus. Meskipun hidup pada masa ysng berbeda, namun St. Nicolas tercatat sebagai salah satu dari i318 peserta konsili ekumenis di Nikea tahun 325. Konsili ekumenis (المجمع المسكونيه “al-Majma’ al-Maskuniyyah) pertama ini, berhasil mengakhiri kontroversi soal perayaan Paskah, yang salah satu rujukannya adalah pemikiran Sang Patriakh.

Karena perjuangan imannya, St. Nicolas pernah dipenjarakan di bawah pemerintahan Kaisar Dioklesianus. Sebagai seorang peserta Konsili, St Nicolas tentunya sangat paham pemikiran-pemikiran St. Demetrius I, yang akhirnya diterima oleh Konsili Nikea, khususnya tanggal perayaan Paskah “kebangkitan” Kristus. Sebelum itu sebagian dari gereja-gereja Tuhan masih mengikuti Paskah “exodus dari tanah Mesir” yang jatuh setiap 15 Nisan, warisan kalender Yahudi di Yerusalem.

Taman asri yang disebut بستان القديسين “Bustān al-Qiddīsīn” (Taman orang-orang kudus), yang terletak di עִיר אֱלֹהִים חַיִּים ‘Ir Elohim Chayyim” atau Kota Allah yang hidup (Ibr. 12:22), menjadi saksi bisu dialog ini, kata demi kata:

2. SINTERKLAS

† “Shabah alkhair. Selamat pagi, Ya Qadasah albaba” (His Holiness), sapa St. Nicolas dari Myra.

‡ “Shabahan nour. Selamat pagi juga, Saudaraku”, jawab Patriarkh Alexandria ramah.

‡ “Bagaimana kisahnya sampai orang memanggilmu Sinterklas?”, tanya sang Patriarkh.

† “Dulu”, jawab St. Nicolas santai tetapi penuh hormat. “Saya sering berbagi rizki dengan siapa saja, khususnya kepada anak-anak”.

‡ “Emm”, Patriarkh Dimitri I menyimak serius.

† “Anak-anak itu memanggil-manggilku Saint Nicolas, Sont Nicolas, Ya Qadasah Albaba”, lanjutnya, “lama kelamaan mereka mengejanya Sinterklas”.

‡ “Lalu anak-anak kami di Mesir menyebutmu Baba Noel”, kata Sang Patriarkh.

† ‡ Keduanya lalu memandang dunia yang sedang merayakan natal. Mata Paus Alexandria menerawang jauh merentang zaman, mengenang Mesir dan Gereja Koptik yang pernah digembalakannya, sejak tahun 189 hingga wafatnya tanggal 22 Oktober 323.

† “Banyak orang salah paham dengan Sinterklas”, kata St. Nicolas. “Kaum non-Kristiani menganggap bagian akidah kita, seolah-olah topi merah dan asesoris Natal yang sebenarnya budaya, dianggapnya ssbagai ancaman kemurnian agama mereka”.

Patriarkh Dimitri I santai saja, sabar dan sangat sabar.

† “Saya merasa bersalah, Ya Qadasah Albaba, sebab saya malah dituduh oleh kaum scripturalis mengggeser posisi Kristus yang Natal-Nya kita rayakan”, lanjut St. Nicolas dari Myra.

‡ “Tidak usah merasa bersalah begitu, Baba Noel. Setiap agama itu selalu ada upaya kontekstualisasi atau inkulturasi. Syukurlah umat kita bisa membedakan mana yang budaya, mana yang urusan agama”, jelas Patriarkh. St. Nicolas yang terus menyimak tausiahnya.

‡ “Tugas sejarah kita sudah selesai, Baba Noel. Justru kita harus terus berdoa untuk saudara-saudara kita, gereja yang masih berjuang dalam ziarahnya di dunia”, kata-kata Baba Dimitri begitu sejuk, bak titik embun pagi di dedaunan surgawi.

Sungguh benar yang dikatakannya. Sinterklas dan pohon Natal (apalagi yang bersalju, itu hanya budaya Kristen Eropa), sama sekali bukan bagian dari ritus gereja yang wajib ada. Seperti kupat, bedug dan baju koko, yang di Indonesia dikenal sebagai “copy rights”-nya Islam, juga tidak ada di Mekkah dan Madinah, tanah air Islam di mula-mula.

Jadi, sinterklas yang bagi-bagi hadiah kepada anak-anak adalah sekularisasi dari sosok historis St. Nikolas dari Myra yang terkenal dermawan itu.

3. ASAL-USUL PERAYAAN NATAL 25 DESEMBER

† “Lalu bagaimana asal-usul perayaan Natal 25 Desember, ya Qadasah Albaba?”, St. Nicolas membuka tema baru.

‡ “Ooo… tuduhan 25 Desember sebagai penyembahan dewa Matahari itu, Baba Noel?”.

† “Betul, betul, ya Qadasah Albaba!”, St. Nicolas mengangguk.

‡ “Harus ditekankan”, kata Patriarkh, “Tidak ada sscuilpun bukti historis bahwa 25 Desember adalah perayaan Dewa Matahari sebelum abad IV M.

† “Lalu kapan kultus Dewa Matahari itu mulai di Roma?”, kejar St. Nicolas.

‡ “Tahun 274 ketika Kaisar Aurelius mendirikan pergerakan politik yang mengangkat Sol Invictus”, kata Patriarkh.

“Terus?”

‡ “Nama “Aurelian” berasal dari kata Latin “aurora” , artinya “matahari terbit”. Penemuan koin logam pada zamannya menunjukkan bahwa sang Kaisar menggelari dirinya sendiri Pontifex Solis (Pemimpin Matahari)”, jelas Patriarkh Alexandria mengurai simpang siur itu.

† “Jadi tahun 274 adalah “terminus per quem” (masa terdini) kultus Dewa matahari diperkenalkan”, tanya St. Nicolas yang dijawab anggukan.

‡ “Logisnya, andai kata 25 Desember mula-mula kelahiran Dewa Matahari”, lanjut Sang Patriarkh, “pasti ada jejak-jejak catatan historisnya sebelum tahun 274”.

† “Kenyataannya, sebelum tahun 274 semua bukti sejarah yang paling awal merujuk 25 Desember sebagai Natal Kristus?”, St. Nicolas memastikan.

‡ “Mumtaz, ya Baba Noel. 25 Desember di wilayah Barat, sejak zaman St. Telesphorus. Paus Roma (126-137) sudah melaksanakan misa tengah malam, 24 Desember. St. Teofilus dari Kaisarea (115-181) dan St. Hypolitus (170-235) juga menyebut 25 Desember sebagai Natal Kristus”, ujar Patriarkh.

† “Tapi mengapa Sol Infictus lebih terkenal dibandingkan dengan Natal Kristis, wahai Patriarkh?”.

‡ “Karena meskipun gereja-gereja sudah lebih dahulu merayakan Natal pada tanggal 25 Desember, namun pada masa Kaisar Aurelius belum ada kebebasan beragama. Edic Milan baru dikeluarkan pada zaman Konstantion tahun 313”, jawab sang Patriarkh.

† “Jadi, perayaan Natal 25 Desember sudah menyebar di Roma, Kaisarea, Alexandria dan wilayah-wilayah yang lebih luas lagi, namun itu hanya praktek Kekristenan sebagai agama rakyat?”, lagi tanya St. Nicolas dari Myra.

‡ “Betul”.

† “Sebentar, Ya Qadasah Albaba, bagaimana yang terjadi di gereja timur sebelum itu?”, tanya St. Nicolas lagi.

‡ “Sejak saya dipilih sebagai Paus Alexandria pada tahun 189, kami hitung lagi lebih cermat, yang kemudian dirumuskan dalam Pasal 18 Didascalia Koptik yang menemukan paralel tanggal kelahiran Juru Selamat kita, 25 bulan Ibrani Kislev yang bertepatan dengan 29 bulan Mesir Kykah”, jelasnya.

† Jadi, jauh sebelum tahun 274 sebagai jejak terawal penyembahan Dewa Matahari di Roma, kelahiran Kristus yang tepat terjadi pada perayaan Hanukkah 25 Kislev itu, kemudian dikonversikan dalam berbagai sistem kalender?”, tanya St. Nicolas makin penasaran.

‡ “Betul, kami yang di Mesir memakai kalender ANNO MARTYRI (AM) merayakannya tanggal 29 bulan keempat, dan saudara seiman di Roma merayakan tanggal 25 Desember”, jelas Sang Patriarkh bersemangat.

† “Tahun inilah yang nanti direvisi oleh Paus Gregorius, yang lebih dikenal dengan ANNO DOMINE (Tahun Tuhan kita), yang kini berlaku secara interrnasional, Wahai Patriarkh?”.

‡ “Tepat sekali, Baba Noel. Intinya, tidak secuilpun bukti dokumen kuno yang menyebut 25 Desember sebagai kelahiran Sol Invictus”, simpulnya. Memorinya Patriarkh tentang ssjarah kuno itu sangat baik, seperti kamus berjalan saja.

† “Apakah Kaisar ini yang lebih dikenal dengan Julius the Apostate, karena ia murtad dari Kristen dan kembali ke peganisme?”, tanya St. Nicolas memastikan.

‡ “Betul, betul, ya Baba Noel. Pada tahun 354 kerika Kaisar Yulius menetapkan 25 Desember sebagai hari libur, kalangan para pembenci Natal itu “Natalis (Sol) Invicti”, padahal tidak ada kata “Sol” (Dewa Matahari) dalam dokumen itu”, jawab Paus Alexandria itu.

† “Maksudnya seperti yang tercantum dalam dokumen Chronogram Anno 354, Patriarkh?”, tanya St. Nicolas.

‡ “Benar, benar sekali, Chronogram Anno 354 adalah kalender Roma tahun 354. Jadi, masih pada pemerintahan Kaisar Yulius”, lanjut Sang Patriarkh.

† “Lho?”, St. Nicolas heran.

‡ “Dokumen itu hanya tertulis: N INVICTI CM XXX. N artinya NATALIS (kelahiran), INVICTI artinya “yang tak terkalahkan”. CM singkatan dari kalimat “Circenses MISSUS” (permainan yang telah ditentukan), sedangkan XXX adalah angka Latin untuk “tiga puluh” (TRIGINTA).

† “Jadi, seluruh kalimat itu dalam bahasa Latin: NATALIS INVICTI CIRCENSES MISSUS TRIGINTA (30 jenis permainan yang ditetapkan untuk kelahiran Dia Yang tak Terkalahkan). Benar begitu, wahai Patriarkh?”.

‡ “Ya”.

† “Kalau bulan SOL (Dewa Matahari), lalu siapakah INVICTI (Yang tak Terkalahkan) dalam CRONOGRAM ANNO 354 itu, wahai Patriarkh?”.

‡ “Dokumen kuno itu justru menyebutkan 25 Desember adalah “NATUS CHRISTUS IN BETLEEM IUDEAE” (Kelahiran Kristus di Betlehem, Yudea). Lalu bagaimana dikatakan INVICTI mengacu Dewa Matahari, wahai Baba Noel? “.

Faktanya, mitos Anti-X’mas benar-benar telah menyebar luas di seluruh dunia sejak teolog Jerman Ernst Jablonski menyerang kelender perayaan-perayaan liturgis, awal abad XIX silam.

‡ “Semua gerakan anti Natal itu diawali dari spirit anti Katolik”, kata Patriarkh setelah sejenak merenung.

† “Kyrie eleison, Irhamni Ya Allah… tak sangka dampaknya begitu luas…”, St. Nicolas heran.

3. DEBAT TAHUNAN KAUM “PLANET HOLYWOOD”

Sementara kedua hamba Tuhan itu terpaku, tiba-tiba diam mereka dibuyarkan oleh aneka peristiwa di bumi. Jauh di bawah sana, tapi terang sekali di mata mereka.

“Mana ayatnya? Dalam Alkitab tak tercatat 25 Desember”, kata seorang pendeta Kristen, sangat literal skripturalis.

“Keempat Injil juga tidak memuat info siapa yang nulis, kenapa kamu sebut Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes?”, bantah pendeta lain.

“Kita mengetahuinya dari Papias dan Ireaneus, bapa-bapa gereja awal”, jawabnya tadi tak mau kalah.

“Bapa-bapa gereja awal juga bicara tentang 25 Desember, Bro. Kalau info mereka tentang
siapa yang menulis Injil kita terima, kenapa kita menolak keterangan mereka soal kalender Natal?”, kata yang lain lagi nimbrung bicara.

“Sudah, sudah, sudah… Mau Yesus langsung lompat dari langit ke Betlehem atau ke Surabaya, musim dingin atau musim durian, nggak penting…”, tambah pendeta literalis lagi, berapi-api.

‡ & † “Lho…?”, kedua bapa gereja itu semakin tak mengerti jalan pikiran kaum “planet Holywood” ini.

‡ “Aneh, jelas-jelas bapa-bapa gereja awal yang menyebut Yesus lahir 25 Kislev, sejajar dengan 25 Desember dan 29 Kyakh, tidak mereka gubris…”

† “Eee.. mereka malah mengulang-ulang opini yang tanpa sepotongpun bukti bahwa 25 Desember lahirnya Dewa Matahari…”, kata St. Nicolas menimpalinya.

4. “TERLENA… KUTERLENA…!”

Sementara itu, meski banyak orang Keisten tak yakin 25 Desember sebagai hari lahirnya Yesus, tapi mereka tetap merayakannya (mungkin alasan kontekstualisasi atau inkulturasi):

‡ & † “Apa mereka juga benar-benar terlena dengan bisik cinta Sol Invictus itu?”, kedua santo itu membatin.

Tampak di bawah sana, beberapa orang di kedai Indomie, depan gereja sedang nyruput kopi instant, sambil berdendang: “Masih terngiang di telingaku bisik cintamu…. terlena…. kuterlena… ” (Ikke Nurjanah).

Setelah sejenak merenung, lonceng Yerusalem surgawi berdentang, memanggil mereka untuk sujud sembahyang.

† “By the way… Jangan lupa, wahai Qasasah Albaba, minggu depan kita masih membahas tema: “Kabar dari Efesus: Ternyata Dajjal tak suka Natalan”.

Share