Renungan Minggu, 7 Agustus 2022
ALLAH TIDAK BERDIAM DIRI
(Mazmur 50: 1-6)
“ Allah kita datang dan tidak akan berdiam diri, di hadapan-Nya api menjilat, sekeliling-Nya bertiup badai yang dahsyat. ”
(Mazmur 50: 3)
Allah Tidak Berdiam Diri
Kita sering mendengar kalimat: Gusti boten sare. Allah tidak tidur.
Secara harfiah, tentu dipahami Allah tidak butuh tidur seperti manusia membutuhkan tidur dalam hidup.
Namun secara makna, kalimat ini mengandung pengertian Allah diyakini selalu ada untuk menjaga atau melindungi manusia.
Nah, kini kita mendengar kalimat lain: Allah tidak berdiam diri (Jawa: Gusti boten kendel). Secara makna kalimat ini mengandung pengertian: Allah tidak tinggal diam. Allah berbuat sesuatu. Jadi, kalau kita rangkai dua kalimat tersebut: Di samping Allah tidak pernah tidur, Allah juga selalu aktif berbuat dalam mewujudkan kehendak-Nya. Keyakinan kepada Allah yang selalu aktif berbuat menjadi keyakinan penting dalam kehidupan iman orang percaya.
Namun, bagi orang-orang tertentu, bisa saja malah merasa nyaman dan aman jika mengetahui Allah berdiam diri.
Terlebih jika mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan dosa-dosa dalam kehidupannya.
Mereka justru berharap Allah berdiam diri saja. Tidak melakukan apa-apa untuk menegur mereka atau bahkan menghukum mereka karena perbuatan dosa yang dilakukan.
Dalam Mazmur 50 ini diungkapkan, orang-orang berdosa yang berharap Allah akan berdiam diri atau membiarkan dosa-dosa mereka pasti akan kecewa. Allah sungguh tidak berdiam diri, berpangku tangan atau tinggal diam atas dosa-dosa umat dalam kehidupan ini.
Allah hadir dalam segala keagungan-Nya .
Kehadiran atau teofani Allah digambarkan sang pemazmur dalam kemegahan-Nya. Allah datang dari Sion. Allah tampil bersinar. Kehadiran-Nya disertai dengan api dan badai, menunjukkan kekuasaan atas semesta. Allah datang dan menampakkan diri sebagai hakim yang akan mengadili umat manusia untuk menyatakan kasih dan keadilan-Nya. Jadi, Allah yang disembah oleh umat bukanlah Allah yang berdiam diri, Allah hadir dan terlibat dalam sejarah kehidupan umat ciptaan-Nya seturut dengan kehendak-Nya.
Teofani Allah semestinya harus menjadi kekuatan dan berkat bagi umat, bukan ancaman atau ketakutan umat.
Ketika kita setia pada Allah dalam hidup ini dan harus berhadapan dengan konsekuensi kesetiaan kita pada-Nya, misalnya kita disingkirkan atau dibenci karena kita pengikut Kristus, teofani Allah memampukan kita yakin bahwa kita tidak pernah sendirian dalam mewujudkan iman dan kesetiaan kita pada Kristus.
Allah hadir, Allah tidak berdiam diri, dalam penyertaan-Nya kepada kita.
Sebaliknya, jika kita berpikir untuk hidup jauh dan tidak setia kepada Allah, teofani Allah menunjukkan pada kita: Allah hadir, Allah tidak tinggal diam melihat ketidaksetiaan iman kita kepada-Nya.
Ingat: Gusti Allah boten sare, Gusti Allah boten kendel.
Amin.
Media: GKJ-N/No.32/08/2022
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.