Anak-anak Allah yang Bercahaya di Kegelapan Hidup (Yohanes 1: 1-13)

Anak-anak Allah yang Bercahaya di Kegelapan Hidup (Yohanes 1: 1-13)

“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya;” (Yohanes 1: 12)

Apa yang bisa kita bayangkan ketika menjadi anak Presiden? Keamanan terjamin, mau ke mana saja ada pasukan pengawal. Fasilitas terjamin, menginginkan apa saja tampaknya dapat dengan mudah terkabulkan. Namun dalam sebuah negara yang tertata baik, tidak semua keinginan anak Presiden bahkan dapat dengan mudah terwujud. Kita ingat pengalaman putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu yang tidak lolos seleksi calon pegawai negeri sipil waktu itu.

Apa yang seseorang biasanya bayangkan ketika disebut sebagai anak-anak Allah? Segala permohonan kita akan dikabulkan oleh Allah. Segala kenyamanan, kemudahan dan kesuksesan hidup akan kita rasakan. Apakah semua itu yang ada di bayangan kita?

Sisi pertama menjadi anak-anak Allah memang kesukacitaan. Kita semua bersukacita karena kita adalah anak-anak Allah. Penulis Injil Yohanes mengatakan kepada kita bahwa semua orang yang menerima Yesus diberi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1: 12). Sebagai anak-anak-Nya, penyertaan dari Sang Bapa menjadi berkat yang tak terpisahkan. Namun harus selalu kita ingat, berkat-berkat Allah bagi kita tidak berarti segala apa yang kita inginkan pasti terjadi. Yang menjadi ukuran adalah kehendak-Nya dan bukan keinginan kita.

Sisi kedua menjadi anak-anak Allah adalah tanggung jawab. Seorang anak pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk mencerminkan martabat dan keteladanan orang tua mereka. Kalau ada anak yang nakal, pertanyaan pertama yang muncul seringkali,” Itu anaknya siapa sih?”  Terus dilanjutkan dengan kata-kata,”Oh pantas, orang tuanya kelakuannya begitu, anaknya juga sama. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”

Kita sebagai anak-anak Allah juga memiliki tanggung jawab untuk mencerminkan martabat dan kemuliaan Allah dalam kehidupan kita. Melalui kehidupan kita, apa yang kita kerjakan dan lakukan, orang-orang lain akan melihat apakah kita menjadi “buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya”.

Karena kita memiliki Bapa yang Pengasih, kita sebagai anak-anak-Nya juga mewujudkan kasih Bapa dalam kehidupan ini. Karena Bapa adalah Pengampun, kita juga siap memberi pengampunan bagi mereka yang melukai hati kita. Karena Bapa adalah Pemberi berkat, kita juga siap berbagi berkat bagi sesama kita yang memerlukan.

Hanya dengan demikianlah kita bisa tetap bercahaya di kegelapan hidup. Amin.

 

Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.