Renungan Minggu 30 Agustus 2020
BERKARYA SESUAI DENGAN PIKIRAN ALLAH (Matius 16: 21-28)
“…Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
(Matius 16: 23)
Dipimpin oleh : Pdt. Simon Rachmadi, Ph.D
Berkarya Sesuai Dengan Pikiran Allah
Ada dua sifat pikiran yang bisa memengaruhi manusia.
Pikiran egosentris dan pikiran teosentris.
Pikiran bersifat egosentris ketika seseorang berpikir hanya demi kepentingan diri sendiri, sedangkan pikiran bersifat teosentris terjadi ketika seseorang berpikir dalam pikiran Tuhan atau sesuai dengan apa yang dipikirkan atau dikehendaki Tuhan.
Petrus saat itu berpikir egosentris.
Egosentrismenya menyebabkan ia bertindak melampaui batas.
Ketika Yesus menyampaikan pemberitahuan (yang pertama) mengenai penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya, Petrus gusar dan menarik Yesus dan menegur Yesus. Bagi Petrus, Yesus adalah Mesias. Mesias tidak akan mengalami penderitaan semacam itu. Mesias adalah seseorang yang diurapi, terpilih, yang akan membebaskan bangsa Israel dari penjajah Romawi dan menetapkan murid-murid-Nya untuk memerintah bersama-Nya.
Yesus marah pada Petrus. Kemarahan Yesus tampak dalam perkataan Yesus, sbb:
(1) “Enyahlah Iblis”.
Mengapa Iblis, bukan dikatakan”enyahlah Petrus?” Petrus bertindak seperti Iblis, seperti saat Iblis menyuruh Yesus melompat dari puncak Bait Allah, dengan sugesti Iblis bahwa Allah tidak akan membiarkan Yesus menderita (Mat. 4:5-6).
Petrus juga memberikan sugesti kepada Yesus bahwa penderitaan yang dikemukan Yesus tidak akan terjadi kepada-Nya.
(2) “Batu sandungan”.
Apa yang dikatakan Petrus telah menjadi batu sandungan bagi misi Yesus. Tragis, baru saja sebelumnya Yesus memuji Petrus dengan menyebutnya “batu karang”, kini ia disebut sebagai “batu sandungan”.
Petrus disebut sebagai “batu sandungan” karena tidak memikirkan seperti apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia. Petrus bersikap dan berpikir egosentris, bukan berpikir dan bersikap teosentris. Petrus memusatkan pada kehendak pribadi, bukan kehendak Yesus.
Memikirkan apa yang dipikirkan Allah berarti memikirkan apa yang menjadi kehendak Allah dalam hidup ini. Dengan demikian, kita diajak untuk menumbuhkan cara berpikir dan bertindak teosentris, bukan egosentris. Percaya kepada Kristus agar kita masuk surga, terlihat sebagai ekspresi iman yang wajar.
Namun demikian, pemahaman semacam ini juga bisa mewujudkan iman yang egosentris. Secara keliru memahami iman sekadar menerima anugerah surga. Padahal iman juga sebagai panggilan dan tanggung jawab berkarya dalam dunia ini, termasuk bagi bangsa dan negara Indonesia ini, sehingga dunia tempat kita hidup, mewujudkan “rasa” surga. Oleh sebab itu, mari kita perhatikan cara-cara penghayatan iman kita Tuhan, apakah masih egosentris, ataukah teosentris? Amin.
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.