Berpikir dan Merasa Seperti Kristus (Filipi 2: 5-11)
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Filipi 2: 5)
Anda tahu apa arti peribahasa ini?
Dalam lautan bisa diduga, dalam hati siapa tahu.
Ya benar, pikiran dan perasaan seseorang tidak mudah untuk ditebak. Kemarin senang, hari ini bisa sedih. Bahkan seseorang yang hari ini terlihat di mata kita senang, bisa jadi sebenarnya menyembunyikan kesedihan yang dirasakan. Ia melakukannya supaya kita tidak tahu bahwa ia sedang sedih.
Tentu, kita akan bisa tahu apa sesungguhnya yang dipikirkan dan dirasakan seseorang ketika ia terbuka mengatakannya kepada kita.
Siapa yang bisa tahu pikiran dan perasaan Yesus?
Apakah murid-murid-Nya? Apakah Rasul Paulus?
Ya, mereka tahu.
Dari mana mereka tahu?
Dari pengalaman dan perjumpaan mereka dengan Yesus. Dari apa yang dikerjakan oleh Yesus, mereka bisa mengetahui apa yang ada di pikiran dan perasaan Yesus. Dari apa yang disabdakan Yesus, mereka juga bisa menebak apa yang ada di pikiran dan perasaan Yesus.
Perhatikan, misalnya ketika Yesus sedang naik keledai menuju kota Yerusalem. Murid-murid akan mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan Yesus.
Mengapa Yesus tidak naik kuda? Dengan segera, murid-murid akan bisa memahami pikiran dan perasaan Yesus. Yesus sedang mewujudkan nubuat tentang kedatangan Mesias yang diwartakan oleh nabi Zakharia (Zakharia 9:9).
Kedatangan Yesus adalah kedatangan untuk mewujudkan damai sejahtera dan keselamatan bagi umat manusia. Keledai yang dinaiki Yesus menunjukkan cara Yesus mewujudkan karya penyelamatan-Nya tersebut, yakni dalam kerendahan hati bukan dalam kepongahan.
Rasul Paulus dengan sangat baik memahami pikiran dan perasaan Yesus ini dengan mengatakan bahwa Yesus “telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba…Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati…” (ayat 7-8). Paulus mengerti bahwa pikiran dan perasaan Yesus senantiasa terarah untuk mewujudkan karya penyelamatan Sang Bapa, apapun risiko yang dihadapi Yesus.
Jadi, ketika kita semua sebagai pengikut Kristus dipanggil untuk memiliki pikiran dan perasaan seperti Kristus, kita diingatkan akan karakter Kristus yang memberi diri-Nya bagi orang lain dalam kerendahan hati-Nya. Sebuah karakter yang tampaknya lebih mudah diucapkan, daripada dikerjakan, mengingat manusia selalu tergoda untuk selfish, memikirkan dan mementingkan kebutuhannya sendiri.
Oleh sebab itu mari kita tanyakan pada diri kita: Apa yang bisa kita lakukan dalam minggu ini agar hidup kita tidak menjadi selfish? Amin.
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.