Renungan Minggu, 1 Mei 2022
DARI RATAPAN MENJADI SUKACITA
(Mazmur 30: 5-13)
“ Aku yang meratap telah Kauubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah Kaubuka, pinggangku Kauikat dengan sukacita“
(Mazmur 30: 12)
Dari Ratapan Menjadi Sukacita
Apakah kita pernah melakukan hal ini?
Ketika kita bangun tidur di pagi hari, lalu kita berkata kepada diri kita sendiri: Puji syukur, aku masih hidup. Mungkin akan ada yang menjawab, “Nggak pernah pak Agus. Bangun tidur ya sudah langsung lakukan aktivitas.” Atau yang lainnya menjawab, “Kalau saya selalu pak Agus, setiap bangun tidur saya selalu berdoa mengucap syukur atas kehidupan yang dikaruniakan Tuhan.”
Ya, ini memang hal sederhana, namun demikian sarat makna secara iman.
Tampaknya memang dalam hidup ini, ada beberapa jenis cara seseorang memandang hidup. Jenis pertama memandang hidupnya sebagai hal biasa.
Ya biasa, aku hidup itu biasa.
Jenis yang kedua memandang kita bisa hidup sampai sekarang ini bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Jadi orang jenis ini akan selalu kagum bahwa setiap hari ia masih bisa menikmati hidup.
Kita masih bisa hidup hari ini, tidak dilihat sebagai hal yang sudah biasa, tetapi tetap dilihat sebagai hal yang menakjubkan.
Dan dari rasa takjub inilah, tumbuh rasa sukacita, dan kemudian syukur kepada Tuhan karena ia masih bisa hidup hingga saat ini.
Perikop Mazmur kita saat ini diberi judul oleh LAI: Nyanyian syukur karena selamat dari bahaya.
Bahaya semacam apa yang hendak digambarkan oleh sang pemazmur? B
ahaya yang dihadapi sang pemazmur adalah bahaya penyakit dan kematian.
Ia luput dari bahaya tersebut.
Ia sembuh dari penyakit yang telah menyebabkan dia berada di ambang kematian.
Ia sembuh dari penyakit yang sangat serius yang tinggal selangkah lagi menghadapkan dia pada kematian.
Sang Pemazmur mengakui ia selamat dari bahaya tersebut karena pertolongan Tuhan.
Ini menjadi pengakuan yang penting, karena justru sebelumnya sang pemazmur abai terhadap Tuhan.
Dengan pertolongan Tuhan yang melepaskan bahaya dari maut, sang pemazmur menyadari ia tidak bisa lagi memandang hidupnya sebagai hal biasa saja.
Dalam hidup yang dijalani, ada banyak karunia Tuhan yang diterimanya. Hidup mesti dijalani dalam sukacita semacam ini.
Kata sang pemazmur di ayat 12: Aku yang meratap telah Kauubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah Kaubuka, pinggangku Kauikat dengan sukacita.
Hidup sang pemazmur telah berpulih: dari ratapan menjadi sukacita.
Dari sang pemazmur kita bisa belajar bahwa memupuk sikap syukur pada Tuhan itu penting. Hidup kita lebih mudah dipenuhi dengan sukacita, ketika kita terbiasa berucap syukur pada Tuhan atas kehidupan yang telah kita jalani ini.
Mereka yang jarang berucap syukur pada Tuhan, mereka juga akan jarang merasakan sukacita dalam Tuhan.
Amin.
Media: GKJ-N/No.18/05/2022
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.