Ekspresikan Kesalehan Ritual dan Sosial sebagai Warga Negara (Yesaya 58: 3-10)
“Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?” Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu.” (Yesaya 58: 3)
Kesalehan ritual seseorang sesungguhnya tidak dinilai sekadar apakah ia mampu menjalankan setiap ketentuan dan tuntutan ajaran agamanya. Apalagi jika hanya untuk dirinya sendiri, kesombongan rohani, sepertinya berjuang “membela” Allah, padahal kesalehan tersebut dijalankan hanya dengan motivasi agar dipuja-puji orang lain. Di konteks bacaan kita kali ini, Nabi Yesaya menyinggung hal tersebut (salah satunya) pada pola berpuasa yang salah. Sebab dianggap sudah cukup bila seseorang tidak makan dan minum, menahan lapar dan haus. Namun kesalehan ritual itu tidak berlanjut ke kesalehan sosial, yang berwujud pada perbuatan nyata sehari-hari untuk membawa kebaikan bagi orang lain dan lingkungan. Sebaliknya, mempermalukan, penindasan, pemerasan, kelaliman terhadap para buruh, orang asing dan kaum lemah tetap saja mereka lakukan.
Allah menghendaki kita memiliki kesalehan yang sejati, yakni kesalehan karena, dalam, dan untuk Kasih. Baik kesalehan ritual dan atau kesalehan spiritual. Sehingga kita bisa terlepas dari keinginan mempermalukan dan menindas orang lain, terlepas dari sikap egois dan serakah. Kesalehan sejati diawali oleh pertobatan, meninggalkan cara hidup yang lama, dan memiliki hidup baru sesuai dengan kehendak Allah. Tidak perlu kita membela Allah, Allah tidak perlu dibela. Tetapi Allah ingin kita melakukan perintah firman-Nya yakni membela hak mereka yang lemah, yang teraniaya, memberi makan yang lapar, memberi pakaian yang telanjang, dan selanjutnya seperti ayat 6-7 menegaskan, “.. supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri.”
Mari meng-ekspresikan kesalehan ritual dan ke kesalehan sosial kita -sebagai umat Allah- di manapun kita berada. Mari berjuang memperbarui kehidupan kita dan tidak lagi melakukan kesalahan yang sudah kita perbuat. Kesalahan-kesalahan mari kita ubah menjadi-menuju kesalehan. Ingat, tidak ada nilainya jikalau itu tidak datang dari hati kita yang berusaha menaati perintah-perintah-Nya dan penuh belas kasihan menjangkau lebih banyak orang lain dan khususnya yang berbeda dengan kita. Mari mengekspresikan-memberlakukan kesalehan untuk memberi naungan kepada mereka yang menderita karena ketidakadilan. Kesalehan yang selalu bersedia mendengarkan dan untuk menghibur mereka yang menangis bahkan berduka. Kesalehan untuk peduli kepada anak-anak, mudah bekerjasama dengan para remaja dan pemuda, kesalehan yang peka terhadap kerinduan para ibu dan bapak (baca: orang tua), serta kesalehan yang menghormati seraya meneladani mereka para adiyuswa. Baik dalam berkeluarga dan bergereja. Maupun ke luar: mari ekspresikan kesalehan sejati kepada tetangga, lingkungan masyarakat kota di manapun kita tinggal, bahkan mari mengekspresikan kesalehan penuh kasih sebagai dan kepada sesama warga negara Indonesia, dan akhirnya kepada seluruh kehidupan. Amin.
Oleh: Pdt. Lusindo YL Tobing, M.Th.