HOSANA BAGI ANAK DAUD
(Matius 21: 1-11)

“Dan orang banyak yang berjalan di depan Yesus dan yang mengikuti-Nya dari belakang berseru, katanya: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang dating dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!” ” (Matius 21: 9)

 

Hosana Bagi Anak Daud

Nas Minggu Palmarum ini jelas menggambarkan konteks Tuhan Yesus Kristus disambut bahkan dielu-elukan bak tentara menang perang: “Dan orang banyak yang berjalan di depan Yesus dan yang mengikuti-Nya dari belakang berseru, katanya: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang dating dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!” (Matius 21:9).
Namun sesungguhnya dengan persiapan yang sangat sederhana. Dia hanya menyuruh murid-Nya mengambil seekor keledai dan anaknya (baca kembali dan maknai ayat 2).

1. Kesederhanaan Dalam “Hosana Bagi Anak Daud”

Allah dalam Tuhan Yesus Kristus begitu lembut.
Dia tidak datang dengan murka dendam, tetapi dengan belas kasihan, untuk mengerjakan karya keselamatan.
Dia lemah lembut dalam menanggung penderitaan dan hinaan yang begitu besar demi Sion, serta sabar dalam menghadapi kebebalan dan kejahatan keturunan Sion.
Dia begitu mudah dijangkau, dan mudah dimintai pertolongan.

Ia lemah lembut bukan hanya sebagai seorang Guru, tetapi juga sebagai seorang Penguasa.
Ia memerintah dengan kasih.
Pemerintahan yang dijalankan-Nya lemah lembut dan penuh kasih, dan hukum-Nya tidak menuntut darah para pengikut-Nya, melainkan darah-Nya sendiri.
Kuk yang dipasang-Nya pun ringan.
Hal itu dibuktikan dengan penampakan-Nya dalam keadaan yang sederhana, yaitu duduk di atas keledai beban, hewan yang tidak diciptakan untuk menunjukkan status, melainkan untuk pekerjaan berat.
Binatang itu juga bukan diciptakan untuk peperangan, melainkan untuk sekedar memikul beban.
Keledai bergerak dengan perlahan namun pasti, aman dan stabil.
Hal tersebut telah lama dinubuatkan, dan usaha untuk menggenapinya telah dilakukan dengan hati-hati sehingga maknanya yang besar dapat ditekankan, supaya orang-orang miskin boleh berbesar hati untuk mendekati Kristus.

Raja Sion tidak datang dengan menunggang kuda yang berderap yang membuat rakyat kecil takut mendekat.
Bukan juga dengan seekor kuda yang berlari kencang dan tidak dapat diimbangi oleh orang yang tidak bisa bergerak cepat.

Sebaliknya, Ia hanya menunggangi seekor keledai lamban, sehingga pengikut-Nya yang termiskin sekalipun tidak akan terhalang untuk mendekati-Nya.
Dalam nubuat itu, disebutkan juga mengenai seekor keledai beban yang muda dan oleh karena itulah, Kristus menyuruh murid-murid-Nya untuk membawa anak keledai beserta dengan induknya, sehingga firman Allah boleh digenapi.

2. Menyambut dengan Doa, Nyanyian dan Tingkah Laku Nyata

Di konteks Kitab Matius -bacaan Palmarum kita ini- seperti rakyat menyambut seorang panglima perang yang pulang setelah mengalahkan beribu musuh yang tidak mereka lihat sendiri, dalam bacaan ini mereka menyanjung riang Yesus sebagai seorang yang kebaikan-Nya telah mereka alami.

Bagi mereka kedatangan Yesus yang mengendarai keledai muda mengisyaratkan kerendahhatian dan kelemahlembutan (baca ulang ayat 5).
Hal ini berbeda dari kedatangan pahlawan perang dalam `kendaraan agung’ berupa kuda dengan persenjataan lengkap yang mengisyaratkan keperkasaan.

Penerimaan orang banyak terhadap Yesus saat itu bukan suatu upacara formalitas, melainkan peristiwa spontan yang timbul dari hati.
Pujian yang mengelu-elukan Yesus langsung merujuk kepada pemuliaan nama-Nya sebagai Mesias.
Spontanitas seperti orang banyak yang menyambut Yesus, apakah masih ada dalam pujian kita saat ini?

Sampai hari ini, masih ada umat, jemaat, pengikut Kristus, keluarga dan pribadi yang mengaku anak-anak Tuhan, namun menaikkan Doa dan nyanyian pujian dengan sembarangan, tidak lagi menghormati kehadiran Tuhan.
Menyembah dan memuji Tuhan tidak lagi lahir dari hati yang sungguh memuliakan dan bersyukur atas anugerah-Nya. Melainkan doa, sembah serta nyanyi pujian dilakukan karena tugas pelayanan, ingin dilihat orang lain sebagai anak Tuhan yang saleh, motivasi ingin menunjukkan kemampuan bernyanyi, ingin terhibur dan menghibur diri sendiri saja.
Tidak menyadari bahwa Tuhan memerhatikan dan bahwa Tuhan bertakhta atas doa serta pujian umat-Nya. Tuhan ingin kita menyambut-Nya dengan hati yang memuji “Hosana”.
Apakah kita sudah berdoa menyembah dan menyanyi memuji Tuhan dengan murni dan benar?
Jika belum, bertobatlah, mari kembali dan atau semakin berdoa dan saling mendoakan, bersama pujilah Dia dengan sikap dan motivasi benar, yaitu menyambut Tuhan sebagai Raja dalam hidup tiap kita pribadi dan keluarga serta Gereja kita.

Mulai dari Minggu Palmarum sekarang ini, mari kita berdoa dan menyanyi memuji-Nya dengan motivasi yang benar, bahwa semua hanya untuk kemuliaan Tuhan.
Bahkan melalui tingkah laku dan perbuatan nyata kita, dimulai dari tidak bersikap sembarangan di gereja dan di kehidupan sehari-hari semakin menjadi saluran berkat melalui perkataan dan khususny tingkah laku yang baik.

Mari kita dengan nyata tiap waktu peduli, dari hal-hal seserahana seperti teladan Tuhan Yesus Kristus menaiki keledai, kita bersedia membagikan lebih banyak kasih damai sejahtera kepada semua orang, khususnya yang menderita, kesakitan dan sengsara.
Di manapun kita ditempatkan Tuhan dan bagaiamanapun situasi kondisi lingkungan kita, semakin warta bagikan “Hosana” kepada sesama manusia dan segenap ciptaan Tuhan.

Amin.

Media: GKJ-N/No.01/04/2023

Oleh: Pdt. Lusindo YL Tobing, M.Th.

Share