Jadilah Kudus Di dalam Seluruh Hidupmu (1 Petrus 1: 13-21)
“..tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu.”
(1 Petrus 1: 15)
Apa yang pertama kali kita bayangkan ketika mendengar kata kudus?
Sesuatu yang murni, sesuatu yang suci?
Sesuatu yang tidak terkontaminasi dengan unsur lain?
Pemahaman kita mengenai kata kudus ini tentu akan memengaruhi sikap hidup kita sebagai orang-orang Kristen. Kalau kita memahami menjadi orang kudus berarti hidup terpisah dengan yang lain, bisa saja kita menjadi orang yang tidak lagi mau bergaul dengan orang-orang lain.
Tentu saja ini pemahaman yang keliru mengenai kekudusan.
Rasul Petrus menyingkapkan sifat kekudusan Allah. Allah adalah Allah yang kudus. Kekudusan Allah inilah yang pada dasarnya membuat manusia tidak mudah menjangkau Allah. Namun demikian Allah yang kudus, yang tidak terjangkau ini, membuat diri-Nya lebih mudah terjangkau oleh manusia.
Melalui Yesus, Allah Bapa yang tidak terjangkau ini lebih mudah dijangkau oleh manusia berdosa. Melalui Yesus pula, Sang Bapa menguduskan manusia yang berdosa.
Mereka yang telah dikuduskan Sang Bapa melalui Kristus, dipanggil untuk mewujudkan kekudusan itu dalam hidup sehari-hari: tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu.
Jadi, kekudusan umat percaya bukan berarti umat percaya diperintahkan agar mengasingkan diri dari kehidupan sehari-hari supaya bisa memelihara hidup kudus, melainkan justru masuk dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kekudusan hidup itu di seluruh kehidupannya.
Dengan sangat jelas, Rasul Petrus mengaitkan watak batin kudus ini dengan watak relasional kekudusan tersebut. Kekudusan tidak perlu memisahkan kita dengan sesama. Kita tidak menjaga kekudusan hidup dengan memisahkan diri dengan sesama kita, justru kita menjaga kekudusan kita dengan mempraktikan kekudusan tersebut dalam perjumpaan dengan sesama kita.
Itulah sebabnya, Rasul Petrus kemudian berkata, ”hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.” (ayat 22). Sama seperti Allah yang kudus mewujudkan kekudusan-Nya dengan mengasihi manusia, kita juga diajak mewujudkan dan memelihara kekudusan dengan mengasihi sesama, bukan menjauhkan diri dari sesama.
Oleh sebab itu, jangan pernah memiliki pikiran, misalnya, karena aku pengikut Kristus adalah orang kudus, aku tidak mau lagi makan makanan yang diberikan tetangga yang beragama lain. Amin.
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.