Jangankan Hanya Beda Partai Politik dan Agama, Bahkan Musuh Tetap Didoakan dan Dikasihi!
(Lukas 6: 27-36)
“Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;” (Lukas 6: 27)
“Kamu 01 atau 02?” Menyebut kalimat tersebut dan yang sejenis itu di perbincangan kita dengan orang lain pada konteks Indonesia sekarang ini, akan sangat peka. Sebab bisa menghadirkan ketidaknyamanan komunikasi, mempersoalkan perbedaan, cenderung menyudutkan, menjadi saling curiga, saling membenci dan bahkan bisa membawa perpecahan. Padahal sesungguhnya, apapun pilihan kita masing-masing, kita adalah Indonesia. Harus saling mengasihi. Jangankan hanya berbeda pilihan nomor, atau beda dukungan partai politik dan agama, bahkan kepada musuh (atau orang-orang yang memusuhi kita), Tuhan Yesus Kristus perintahkan -melalui Khotbah di Bukit- kepada kita: “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka.” (ayat 27 dan diulangi-ditekankan lagi di ayat 35).
Khotbah di bukit / perikop kita kali ini tentu sama dengan yang kita kenal pada Injil Matius 5-7, namun penulis Lukas hanya memilih apa yang dianggap penting bagi para pembacanya yang notabene bukan Yahudi. Namun intinya, mengasihi musuh bukan berarti mengasihi dengan kasih secara emosi, seperti menyukai musuh kita, melainkan menunjukkan perhatian dan keprihatinan yang tulus terhadap kebaikan dan keselamatan kekal mereka. Karena kita tahu betapa dahsyatnya nasib yang menantikan mereka yang melawan Allah dan umat-Nya, kita harus mendoakan mereka dan berupaya, dengan jalan membalas kejahatan dengan kebaikan, untuk membawa mereka kepada Kasih Kristus.
Mengasihi musuh kita juga bukan berarti berpangku tangan sementara para pelaku kejahatan terus-menerus melakukan perbuatan jahat mereka. Jika dipandang perlu demi kehormatan Allah, kebaikan atau keamanan orang lain, atau demi kebaikan akhir orang fasik itu, maka tindakan yang keras bisa diambil untuk menghentikan kejahatan. Namun menurut Tuhan Yesus Kristus pada dasarnya dapat diwujudkan dalam dua tindakan konkret. Yang pertama ialah “berbuat baik,” bukan secara pasif melainkan secara proaktif di tengah serangan dan permusuhan terhadap kita: mendoakan, memberikan pipi yang lain, bahkan jubah dengan bajunya juga. Dan yang kedua ialah “memberi” atau “meminjamkan” dengan ikhlas “tanpa mengharapkan balasan.” Pola hidup dan perilaku ini haruslah berakar pada karakter Allah sebagai Bapa yang baik dan murah hati, “.. sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.” (ayat 35). Di manapun dan situasi bagaimanapun, khususnya untuk berbagai perbedaan yang ada di Indonesia, yuk kita sebagai pengikut Kristus, berjuang untuk tidak menghakimi tetapi mengampuni, tidak menonjolkan kesalehan sendiri dengan menekankan kekurangan-kekurangan orang lain. Mari memberi ruang kepada perbedaan (bahkan perbedaan yang paling tajam sekalipun), lebih banyak mendoakan dan semakin mengasihi untuk menghadirkan kehidupan bersama yang lebih baik. Amin.
Oleh: Pdt. Lusindo YL Tobing, M.Th.