Kebangkitan-Nya Memampukan Kita Membuka Hati Terhadap Sesama (Yohanes 20: 19-31)
“Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yohanes 20: 23)
Apa respons manusia pada umumnya jika mengalami peristiwa buruk dalam hidupnya?
Ketakutan dan kekhawatiran.
Namun apakah ini merupakan respons yang paling buruk?
Tidak.
Masih ada respons yang lebih buruk. Pementingan diri sendiri. Itu yang tampaknya terlihat dari fenomena panic buying, menimbun barang-barang untuk kepentingannya sendiri ketika ada situasi buruk seperti penyebaran virus corona saat ini.
Ketakutan dan kekhawatiran dirasakan oleh murid-murid Yesus pascakematian Yesus. Mereka mengetahui perlakuan keji orang-orang Yahudi dan prajurit Romawi pada Yesus. Entah mereka secara langsung atau tidak menyaksikan kematian Yesus, realitas yang mereka ketahui sangat jelas: Yesus mati disalibkan.
Wajar saja mereka kemudian berpikir: sebagai murid-murid Yesus, bisa saja mereka akan menjadi target penangkapan orang-orang Yahudi atau Romawi berikutnya. Tak mengherankan, murid-murid Yesus berkumpul di suatu rumah, isolasi diri, bersembunyi karena takut.Yang penting bagi mereka saat itu adalah mereka semua selamat.
Dalam situasi psikis murid-murid semacam itulah, Yesus menampakkan diri pada mereka. Sapa Yesus,”Damai sejahtera bagi kamu!” Perjumpaan murid-murid dengan Yesus yang menampakkan diri sungguh memberikan perubahan besar bagi kondisi psikis murid-murid Yesus.
Dari ketakutan berubah menjadi sukacita! Namun perubahan kondisi psikis tampaknya tidak boleh berhenti hanya pada takut menjadi sukacita. Sukacita ini harus mengubah sikap psikis mereka juga terhadap kemampuan mereka mengolah hati mereka terhadap sesama, terutama terhadap sesama yang mereka pandang sebagai sumber penderitaan mereka.
Ketika Yesus mengatakan kepada mereka: Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada, Yesus bermaksud agar mereka bisa membuka hati terhadap orang-orang yang mereka anggap bersalah terhadap mereka. Hati yang tetap terbuka bagi sesamanya, akan memampukan mereka memberi pengampunan bagi sesamanya tersebut. Jika mereka menutup hati, mereka hanya akan diliputi dendam dan kebencian pada sesama, dan hanya memusatkan pada kepentingan diri sendiri.
Dalam situasi penderitaan atau pengalaman buruk yang kita hadapi, janganlah kepanikan menguasai kita. Ketika kita panik, kita akan menutup hati kita. Jika kita menutup hati kita, kita tidak akan mampu mendengar sapaan Tuhan yang menenangkan.
Akibatnya, kita hanya akan berpusat pada kepentingan diri sendiri dan tidak mampu memperhatikan sesama yang bisa saja memerlukan karya kita, terutama karya pertolongan kita bagi mereka. Amin.
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.