KELUARGA MENUMBUHKAN KEBIASAAN UCAP SYUKUR
(Lukas 17: 11-19)
“Lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya.
Orang itu adalah seorang Samaria.” (Lukas 17: 16)
Keluarga Menumbuhkan Kebiasaan Ucap Syukur
Apa yang membuat seseorang sulit mengucap syukur?
Barangkali dengan cepat kita akan menjawab penderitaan dan beban hidup.
Sulit untuk membayangkan seseorang yang menderita bisa bersyukur pada Tuhan. Semakin besar penderitaannya, semakin sulit baginya untuk bersyukur. Bagaimana mungkin seseorang bersyukur pada Tuhan atas penderitaan hidup yang dialaminya? Ya benar, ada orang yang tidak bisa bersyukur saat menderita.
Namun rupanya ada orang yang tetap bisa bersyukur bahkan saat menderita. Ada mekanisme berpikir yang biasa dipakai seseorang untuk tetap bisa bersyukur sekalipun seseorang sadar bahwa ia tidak bisa lepas dari penderitaan: mekanisme pembandingan penderitaan.
Penderitaannya dibanding-bandingkan dengan penderitaan orang lain. Jika ia melihat penderitaannya masih ringan dibandingkan orang lain, ia masih bisa bernapas lega dan bersyukur tidak mengalami kondisi yang lebih buruk dibandingkan orang lain.
Tidak semua orang yang sakit kusta itu kembali menemui Yesus dan mengucap syukur atas penyembuhan dan pentahiran yang mereka terima dari Yesus. Hanya satu orang yang kembali, itupun bukan orang Yahudi. Dia adalah orang Samaria. Menarik untuk memperhatikan ini. Seorang Samaria yang sudah biasa dianggap oleh orang Yahudi sesat dan kafir, justru orang yang kembali pada Yesus untuk berucap syukur. Apa yang dilakukan orang Samaria tersebut? Ia kembali kepada Yesus. Ia memuliakan Allah. Ia tersungkur di depan kaki Yesus. Ia mengucap syukur pada Yesus. Apa yang dilakukan orang Samaria ini menunjukkan rasa syukur yang besar atas pertolongan Yesus bagi dirinya.
Mengapa orang Samaria itu bisa berucap syukur sedangkan sembilan orang Yahudi tidak?
Hal ini bisa terjadi karena pemahaman (keliru) yang dimiliki orang-orang Yahudi bahwa sudah sepantasnya mereka sebagai umat pilihan Allah menerima kesembuhan dari Allah. Mereka menganggap memang sudah hak mereka untuk menjadi sembuh. Jadi tidak perlu bersyukur, kan itu memang haknya.
Sebaliknya, orang Samaria yang dianggap sebagai orang yang sesat dan berdosa, justru bisa merasakan bahwa kesembuhan itu anugerah, bukan hak. Ia sembuh, karena Allah melalui Yesus berkenan menganugerahkan kesembuhan padanya.
Melihat kesembuhan sebagai anugerah dan bukan hak menjadikan orang Samaria tersebut mampu berucap syukur atas kondisi hidupnya.
Keluarga Kristen dipanggil untuk membiasakan sikap ucap syukur pada Allah dalam kehidupannya. Baik saat sakit maupun sehat, suka maupun duka. Ucap syukur bisa menjadi mekanisme pertahanan diri yang baik dari segala beban dan penderitaan hidup karena membawa kita untuk melihat dan meyakini kasih dan perlindungan Allah bagi keluarga kita dalam kondisi apapun.
Mari jadikan ucap syukur sebagai kebiasaan (habit) iman yang baik kepada Tuhan.
Amin.
Media: GKJ-N/No.41/10/2022
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.