Renungan Minggu 21 Juni 2020
Kesetiaan (Matius 10: 28-33)
“Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga.”
(Matius 10: 32)
Dipimpin oleh : Pdt. Lusindo YL Tobing, M.Th
Mengapa ada orang yang bisa begitu setia baik kepada Tuhan maupun pasangannya, tetapi juga ada orang yang begitu mudahnya ingkar terhadap kesetiaan yang diikrarkannya?
Apakah semua ini ada hubungannya dengan gen kesetiaan atau saraf otak kesetiaan yang dimiliki manusia?
Leonard Matheson, seorang profesor yang pakar di bidang rehabilitasi saraf otak, dalam bukunya Your Faithful Brain, menunjukkan kepada kita bahwa jaringan saraf otak manusia memang menopang untuk mewujudkan tindakan kesetiaan manusia. Namun demikian, kesetiaan memang bukan otomatis dimiliki manusia. Saraf kesetiaan memang harus dilatih dan dikembangkan dengan penuh kesungguhan dan kesadaran.
Dalam kehidupan ini, memang ada banyak hal yang bisa mengubah kesetiaan seseorang, (1) Penderitaan Hidup. Ketika hidup setia mendatangkan penderitaan hidup, banyak orang bisa tergoda untuk mengingkari kesetiaan yang diikrarkan sebelumnya, (2) Persekusi dan penganiayaan. Yesus telah mengingatkan hal ini. Ada harga atau risiko yang harus “dibayar” ketika mengikuti dan setia kepada Yesus. Harga atau risiko ini bisa semakin berlipat ganda ketika para pengikut Yesus merupakan kaum minoritas di masyarakatnya, (3) Ketakutan dan kekhawatiran terhadap masa depan hidupnya. Perasaan takut dan khawatir ini bisa melumpuhkan iman seseorang atas pemeliharaan Tuhan dalam hidupnya.
Itulah sebabnya Yesus menguatkan murid-murid-Nya,”Karena itu, janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit.” (ayat 31).
Kesadaran kita terhadap faktor-faktor yang bisa mengubah kesetiaan kita, akan memampukan kita mengolah kesetiaan kita sehingga tetap bertumbuh dan terjaga dalam beragam tantangan hidup yang ada. Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk setia bertahan sebagai saksi iman, sekaligus juga sebagai saksi iman yang bertahan dalam kesetiaan kita kepada sang Bapa.
Ketika Yesus bersabda,”Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga”, Yesus pada dasarnya hendak menegaskan anugerah-Nya yang memampukan kita untuk mewujudkan kesetiaan iman yang kita pegang.
Ini bukan sebuah bentuk ancaman, tetapi justru penegasan pengakuan dan pemeliharaan bagi mereka yang bertahan dalam kesetiaan pada Kristus apa juga yang terjadi dalam hidupnya. Amin.
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.