PERSEKUTUAN YANG TIDAK MAU BERBUAT DOSA (1 YOHANES 3: 1-10)
“barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya. Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu.”
(1 Yohanes 3: 8)
Persekutuan Yang Tidak Mau Berbuat Dosa
Ada sebuah peribahasa umum yang tidak asing lagi di telinga yang berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”? Peribahasa ini sudah sering digunakan untuk mengacu pada adanya kemiripan sikap, perilaku, pola pikir, dan ciri-ciri antara orang tua dengan anak-anak mereka.
Seorang penulis muda, Tifani Kautsar, menuliskan sebuah cerita pendek dalam bukunya yang bertajuk “Buah yang Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya”. Ia menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang diarahkan untuk seperti ayahnya. Ayahnya merupakan sosok yang hebat, dihormati, disegani, idealistis, pintar dan mandiri.
Namun, pada suatu hari anak laki-laki tersebut menyadari bahwa ia tidak memiliki apa-apa. Ia melihat bahwa dirinya hanyalah duplikat dari ayahnya, sehingga ia melarikan diri guna mencari jati dirinya sendiri dan meninggalkan sepucuk surat, demikian : “maafkan aku, jangan mencari aku. Aku akan mengembara mengikuti Langkah-langkah kakiku saja. Biarkanlah aku mencadi buah yang jauh dari pohonnya”. Respon dari sang ayah setelah membaca surat tersebut hanya tersenyum karena apa yang anaknya lakukan adalah hal yang sama seperti dirinya lakukan sewaktu usia anaknya.
Salah satu pesan dalam cerita ini menunjukkan bahwa seringkali, apa yang dilakukan sang anak, sekalipun ingin berbeda dari orang tuanya, tetap menunjukkan perilaku dan sifat yang tak jauh dari orang tuanya. Sebagaimana buah yang cenderung tumbuh dekat dengan pohon tempat jatuhnya, anak-anak cenderung menunjukkan kualitas atau perilaku yang serupa dengan orang tuanya.
Cerita tersebut membawa kita pada suatu pesan yang terpancar melalui surat 1 Yohanes 3: 1-10. Perikop yang diawali dengan rasa takjub karna Allah telah melimpahkan kasih-Nya ke atas kita dengan menyebut kita sebagai “anak-anak Allah” telah membawa kita pada suatu penghayatan bahwa jika kita adalah anak-anak Allah, mengapa kita tidak bertindak sesuai dengan “status” itu? Sebab bukannya anak-anak dari orang tua yang baik sudah sewajarnya ingin berusaha menyamai mereka?
Dalam kehidupan, kita sering mendapati berbagai stuasi yang diperhadapkan dengan berbagai cara untuk menyikapinya. Oleh karena, itu Firman Tuhan mengingatkan kita untuk tetap hidup kudus sebagai persekutuan yang serupa dengan Allah atau hidup dalam kebebasan dari dosa. Kebebasan dari dosa ini bukanlah pekerjaan manusia, melainkan anugerah Allah. Hal tersebut terjadi karena kita dilahirkan oleh Allah atau memiliki persekutuan yang erat dengan Kristus. Seperti yang dikatakan juga dalam Yehezkiel 36:27, bahwa kehafiran Roh dalam umat Allah akan menyebabkan mereka hidup menurut segala ketetapan Allah dan tetap berpegang teduh pada peraturan-peraturan Allah dan melakukannya.
Menjadi serupa dengan Allah adalah sebuah tahapan petumbuhan dengan waktu yang tidak singkat dan membutuhkan pemahaman serta penghayatan secara mendalam, bukan terjadi secara spontan. Oleh karena itu, 1 Yohanes 3 : 1-10 mendorong kita untuk mewujudkannya dengan berlandaskan pada suatu kesadaran bahwa kehidupan yang diberikan Allah kepada kita adalah sebuah perwujudan kasih Allah. Oleh karena cinta-Nya, kita disebut sebagai anak-Nya (ayat 1). Mewujudkan buah yang sama dengan hidup dalam pengharapan sebagai pendorong menjalani kehidupan dengan segala kondisi (ayat 3) dan tekad untuk melakukannya. Seperti sebuah kalimat dalam tradisi Jawa, bahwa seorang anak harus bisa “mikul dhuwur, mendhem jero”, yakni mengharumkan nama orangtuanya.
Amin.
Media: GKJ-N/No.02/04/2024
Oleh: Merdekawati Solannia Mansula