Ujaran Kebencian dan Permusuhan Bukan Bagian dari Ibadah (Yakobus 3: 5-12)

“Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah.” (Yakobus 3: 9)

Tahukah Anda, bahwa setiap ujaran atau ucapan yang kita katakan bisa memengaruhi dan mengubah jalinan saraf otak kita? Andrew Newberg, seorang pakar neurosains, dalam bukunya Words Can Change Your Brain (hal. 32-33), memberitahukan kepada kita bahwa ujaran-ujaran positif yang kita katakan akan mengaktifkan pada saraf otak kita hormon pengurang stress. Sebaliknya, ujaran-ujaran negatif, seperti ujaran kebencian, akan mengacaukan saraf otak kita yang melindungi kita dari stress, bahkan lambat atau cepat bisa merusak otak kita.

Di samping itu, ujaran-ujaran negatif, termasuk ujaran kebencian yang diarahkan kepada orang lain juga akan berdampak vital bagi orang lain. Orang lain akan merasakan sakit hati secara psikologis, perasaan hina dan takut, atau sebaliknya kemarahan untuk melakukan pembalasan baik secara fisik maupun psikis.

Yakobus mengingatkan umat agar bijak dalam berujar atau berkata-kata. Umat harus belajar mengendalikan diri dalam hal berujar, sehingga ujaran yang keluar adalah ujaran yang membangun kehidupan dan iman, bukan yang merusak kehidupan dan iman. Dengan menggunakan lidah sebagai kiasan, Yakobus mengajak agar lidah dipakai untuk memuji Tuhan, bukan untuk mengutuk segala ciptaan Tuhan, termasuk mengutuk sesamanya manusia. Dengan menggunakan mulut sebagai kiasan, Yakobus mengajak agar mulut dipakai untuk mengucapkan berkat bukan mengucapkan kutuk.

Dengan demikian, ujaran kebencian dan ujaran permusuhan bukan bagian dari ibadah. Ibadah akan selalu membawa relasi kita dengan sesama manusia, bahkan dalam kemajemukan agama yang ada, dalam relasi penuh hormat dan kasih. Oleh karena itu penting untuk memperhatikan bahasa kita sehari-hari atau bahasa ibadah kita, jangan sampai disusupi dengan ujaran-ujaran kebencian dan permusuhan. Amin. Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th

Share