TRAGEDI CANDI PLAOSAN

Cerita rakyat – edisi Juni 2021

TRAGEDI CANDI PLAOSAN
(Ode Pamungkas)

Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang penganut Hindu menikah dengan Pramodhawardhani Putri Raja Wangsa Syailendra yang penganut Budha. Mereka berdua mendapat hadiah perkawinan berupa pembangunan sebuah candi yang diberi nama candi Kalasan.
Sejak saat itu maka pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu menjadi dominan di Kerajaan Medang atau Mataram Kuno menggantikan agama Budha.

Di suatu senja yang indah ditingkah cahaya candhik ayu menerangi Tamansari, Rai Pikatan sedang berbincang dengan Ratu Pramodhawardhani.  

“Diajeng Pramodhawardhani, candi Borobudur, candi Mendut dan candi Pawon sudah selesai
  dibangun dengan megah. Apakah ada yang dirasa masih kurang diajeng?”

“Kakanda Prabu, didekat candi Borobudur sudah dibangun Candi Mendut. Kenapa didekat candi
  Sewu tidak dibangun juga candi yang bersifat Budha? Di dekat candi Sewu ada desa Plaosan,
  kalau disitu dibangun candi bisa diberi nama Candi Plaosan.”

“Sekarang ini para pematung dan pemahat batu sudah hidup terpencar kemana-mana,
  mungkin agak sulit mengumpulkannya.”

“Dibuat sayembara saja Kanda. Barang siapa pemuda yang bisa membangun candi Plaosan
  sampai selesai akan dikawinkan dengan Putri Sekar Kedaton Dewi Kusumawardhani.”

“Baiklah diajeng, kalau begitu segera kita umumkan saja sayembara tersebut.”

Raja Rakai Pikatan segera memanggil Patih Singhamurti untuk mewartakan maksud sayembara tersebut.

“Mohon ampun Baginda, apakah untuk membangun candi tersebut harus dilakukan seseorang
  atau boleh dikerjakan bersama-sama?”

“Saya kira kalau dikerjakan seorang diri, betapapun saktinya dia tidak mungkin bisa terlaksana
  untuk membangun candi yang hampir sebesar candi Mendut.”

“Baiklah Baginda, kalau sudah jelas demikian kami pamit mundur untuk segera
  mengundangkan sayembara tersebut.”

Maka sayembarapun diundangkan sampai keseluruh pelosok kerjaan Medang, bahkan sampai ke manca negara.

Di Taman Keputren Medang terlihat Dewi Kusumawardhani wajahnya berserk-seri manakala sedang bercengkerama dengan para dayang yang suka membuat lelucon.
Begitu asyiknya Sang Dewi sehingga tanpa disadarinya telah masuk ke Taman Keputren seorang pemuda yang tampan.

“Diajeng Kusumawardhani, jangan kaget aku yang datang.”
Tapi suara itu justru mengagetkan Sang Dewi yang sedang asyik bercanda dengan para dayang.

“Lho, Kakang Watuhambalang. Kenapa kamu berani masuk kedalam Taman ini, apakah sudah
  mendapat ijin Rama Prabu atau Ibunda Ratu?”

“Aku terpaksa nekad masuk taman ini tanpa ijin siapapun Diajeng. Karena tak bisa menahan
  rasa kangenku kepadamu. Siang malam makan tak enak, tidur tak nyenyak karena selalu
  terbayang wajahmu yang ayu.”

“Aih, tak tahu malu. Kau putra Tumenggung tak seharusnya berlaku kurang ajar begitu.
  Lagipula siapa yang suka sama kamu. Kalau memang kakang Watuhambalang mencintaiku,
  ikutilah sayembara membangun candi itu.”

“Yaa .  .  mana mungkin aku bisa. Hanya orang gila saja yang berani mengikuti sayembara itu.”

“Kalau begitu cepat Kakang keluar dari taman ini, karena kurang elok dilhat orang.”

Tanpa diduga Watuhambalang menarik tangan Sang Dewi dan berusaha memeluknya. Karuan saja Sang Dewi terkejut bukan main dan segera berteriak minta tolong dibantu para dayang.
Mendengar teriakan minta tolong dari Taman Keputren para prajurit sandhi Penjaga Istana segera berlarian menuju taman dan mengejar Watuhambalang. Namun Watuhambalang yang merasa terpojok segera melompat pagar taman dan menghilang di pepohonan.

Setelah pengumuman sayembara ditunggu cukup lama, ternyata hanya satu orang yang mendaftar untuk mengikuti sayembara. Dia adalah seorang pemuda tampan dan perkasa murid dari Padepokan di lereng Gunung Lawu bernama Kayuwangi.

Setelah disetujui untuk diterima mengikuti sayembara maka Kayuwangi beserta teman seperguruan mulai membangun candi Plaosan dengan memahat batu alam menjadi Patung. Yang dipahat pertama adalah patung Boddhisatwa yang anggun dan megah yang dikerjakan sendiri oleh Kayuwangi, sementara teman-temannya memahat relief berbagai cerita.

Ditengah pembangunan candi itu Sang Rakai Pikatan dan Ratu Pramodhawardhani disertai Dewi Kusumawardhani meninjau pembangunan candi. Sang Dewi begitu terkesan melihat ketampanan dan ketrampilan Kayuwangi dalam memahat patung itu sehingga jatuh cinta pada pandangan yang pertama.

Di sisi lain Watuhambalang yang memendam kebencian terhadap Kayuwangi berusaha untuk menggagalkan pembangunan candi. Satu-satunya jalan adalah dengan membunuh Kayuwangi sehingga rencana pembangunan candi Plaosan akan gagal dan dia bisa beharap bisa meneruskan pembangunan candi dan mempersunting Dewi Kusumawardhani.

Malam itu ketika bulan purnama menyinari bumi, terlihat seorang pemuda tampan dan perkasa sedang memahat relief Kalamakara. Rupanya dia bekerja lembur dengan harapan pekerjaannya segera bisa diselesaikan. Dari kegelapan datang mengendap-endap Watuhambalang kemudian dengan cepat menusuk punggung pemuda tersebut dengan keris pusaka sehingga tembus ke dada dan tewaslah pemuda tersebut tanpa sempat mengaduh.
Watuhambalang segera menyelinap meninggalkan tempat pembangunan candi dan menuju kotaraja Mataram pulang kerumahnya di Poh-pitu.

Keesokan paginya menjadi ribut ketika para pemahat dan pekerja lainnya terkejut menemukan Anggara pemahat ulung tergeletak tak bernyawa dengan darah menggenang dibawah tubuhnya. Pekerjaan para pemahat menjadi terhenti karena kejadian tersebut dan harus merawat jenasah Anggara sebagaimana mestinya.
Kayuwangi segera ke kotaraja untuk menghadap Sang Raja Rakai Pikatan melaporkan hal tersebut, sementara gurunya di Padepokan Lereng Lawu dimohon datang untuk menyelidiki siapa sebenarnya yang membunuh Anggara yang tidak bersalah itu.

Watuhambalang pagi-pagi sekali sudah datang ke Taman keputren sehingga mengagetkan para dayang yang sedah membersihkan Taman. Karena terdengar ribut-ribut maka Dewi Kusumawardhani keluar untuk melihat apa yang terjadi. Betapa terkejutnya ketika melihat kedatangan Watuhambalang dengan nafas terengah-engah.

“Ada apa pagi-pagi datang kesini membuat ribut di taman ini?”

“Diajeng Kusumawardhani, sekarang kita bisa memadu janji dengan tenang karena tidak ada
  penghalang lagi.”

“Apa maksud Kakang Watuhambalang?”

“Kayuwangi sekarang sudah mati.”

“Ah, jangan ngawur kalau bicara Kakang. Siapa yang berani membunuh Kakang Kayuwangi
  yang sedang melaksanakan tugas negara?””

“Ngawur bagaimana. Semalam aku yang membunuhnya dengan keris pusaka dari punggung
  tembus ke dadanya.”

Mendengar pengakuan itu Dewi Kusumawardhani menjerit-jerit minta tolong karena Watuhambalang dianggap sudah gila. Para prajurit tamtama penjaga kaputren segera mengejar beramai ramai namun Watuhambalang dengan cerdik bisa meloloskan diri meninggalkan keraton bahkan meninggalkan Medang untuk bersembunyi di tengah hutan mengharap bisa bergabung dengan para berandal pengacau negara.

Di saat yang sama Kayuwangi menghadap Rakai Pikatan tanpa dipanggil

“Ada apa Kayuwangi pagi-pagi sudah menghadap tanpa dipanggil?”

“Mohon ampun Baginda, hamba ingin melaporkan bahwa saudara kami Anggara yang sedang
  memahat relief, semalam dibunuh orang tak dikenal.”

“Apakah saudaramu punya musuh?”

“Setahu hamba tidak, karena tidak pernah keluar dari Padepokan.”

Tiba-tiba masuklah Rakyan Pandhega kepala prajurit pengawal istana masuk tergopoh-gopoh

“Banginda, mohon maaf hamba menghadap tanpa dipanggil. Semalam Kayuwangi dibunuh
  oleh Watuhambalang putra Tumenggung Jayengtirta.”

“Kamu tahu dari siapa?”

“Sang Dewi Kusumawardhani, Baginda. Watuhambalang baru saja bikin ribut di Taman
  Keputren mengganggu Sang Dewi dan bercerita kalau semalam dia membunuh Kayuwangi.”

“He, he, ini lho Kayuwangi masih segar bugar.” Sambil menengok ke  arah Kayuwangi, sementara Rakyan Pandhega ternganga karena heran.

“Yang dibunuh semalam itu Anggara, saudaranya Kayuwangi.”

Segera Sang Raja memerintahkan seluruh prajurit Medang untuk mencari Watuhambalang. Akibat pagar betis yang dilakukan oleh para prajurit akhirnya Watuhambalang tertangkap di tengah hutan, kemudian dijatuhi hukuman mati.

Pelaksanaan pembangunan candi Plaosan diteruskan sehingga selesai menjadi candi Plaosan Lor dan candi Plaosan Kidul di desa Plaosan sebelah timur laut candi Sewu.
Selanjutnya Kayuwangi dikawinkan dengan Dewi Kusumawardhani, dan dikemudian hari Kayuwangi menggantikan kedudukan mertuanya Rakai Pikatan sebagai Raja Medang bergelar Rakai Kayuwangi.

*dari berbagai sumber

Share