Cerita Rakyat
TRAGEDI KEDUNG SRENGENGE
(Ode Pamungkas)
sigra milir sang gethek sinangga bajul
mengalirlah segera rakit yang didorong buaya
kawan dasa kang njageni
empat puluh yang menjadi penjaganya
ing ngarsa kalawan pungkur
di depan maupun di belakang
tanapi ing kanan kering
juga di sebelah kanan dan kiri
sang gethek lampahnya alon
rakitpun berjalan pelan
Satu bait tembang Megatruh diatas adalah gambaran perjalanan Mas Karebet alias Jaka Tingkir dalam cerita Babad Tanah Jawi ketika naik rakit dan didorong oleh 40 ekor buaya sehingga rakit melaju disungai tanpa harus didayung.
Seperti diketahui bahwa Babad bersumber pada prasasti dan Serat yang biasa ditulis oleh Pujangga Keraton, dengan sanepan atau kamuflase.
Hal ini dilakukan sesuai dengan kode etik penulisan Serat bahwa kalau ada perbuatan yang kurang baik yang dilakukan baik oleh Punggawa Kerajaan, apalagi Sang Raja sendiri maka dibuatlah cerita terselubung.
Versi cerita yang lain dari perjalanan Mas Karebet dengan rakit di Kedung Srengenge sbb.:
Setelah mendapat restu dari Ki Ageng Banyubiru maka dengan menggunakan rakit ditemani tiga orang yaitu Ki Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila, Mas Karebet meninggalkan Padepokan Banyubiru menyusuri Kali Dengkeng menuju Demak. Ki Mas Manca dengan galah bambu di depan mengemudikan rakit dan Ki Wuragil beserta Ki Wila yang mendayung sementara Mas Karebet duduk dengan santainya di atas rakit.
Ketika matahari tepat diatas ubun-ubun yang menandakan waktu tengah hari, mereka berniat untuk istirahat dan menepikan rakit mereka. Di dekat perhentian itu ada sebuah gubug yang biasa dipakai petani untuk istirahat sambil melepaskan lelah saat mengolah sawah.
Mas Karebet berempat segera menuju gubuk tersebut dan membuka bungkusan nasi yang dibawanya. Ketika sedang asyik makan siang, Mas Karebet melihat seorang perempuan yang berparas cantik berlenggang menuju tepian sungai di bawah waru doyong atau pohon waru yang condong ke sungai.
Ada batu besar dan datar di bawah pohon itu yang biasa digunakan untuk mencuci pakaian.
Mas Karebet yang gagah dan ganteng memang terkenal sebagai Don Yuan dari Pengging itu segera lari menuju pohon waru doyong meninggalkan nasinya, sementara tiga temannya hanya geleng-geleng kepala saja.
Betapa terkejutnya perempuan berwajah cantik itu ketika tiba-tiba ada lelaki yang mendatanginya, sementara dia hanya menggunakan kain pinjung sampai sebatas dada saja, dan basah sehingga kelihatan jelas lekuk tubuhnya yang padat berisi sehingga Mas Karebet tak berkedip melihatnya.
Sambil mendekati perempuan itu Mas Karebet bertanya dengan sopan dan senyum dikulum:
“Wong ayu, ini desa apa dan siapa namamu?” Melihat lelaki tersebut bertanya dengan sopan maka perempuan itupun menjawab dengan senyum dan lesung pipit di pipinya.
“Ini Desa Kedung Srengenge Raden, nama saya Niken Sumiati.”
Mendengar jawaban itu Mas Karebet segera mendekati Niken Sumiati dan njawil dagunya.
“Di desa terpencil ini kok ada orang secantik kamu, ya.”
Terkesiap Niken Sumiati mendapat perlakuan tersebut dan mukanya menjadi merah merona menahan marah dan malu, kemudian lari menuju Desa dan meninggalkan cuciannya. Sementara Mas Karebet hanya berdiri termangu dan senyum-senyum penuh arti dan segera kembali ke gubuk meneruskan makan siangnya.
Karena perut terasa kenyang ditambah semilirnya angin maka mengantuklah mereka dan berniat untuk tidur sebentar.
Tiba-tiba terdengar ramai-ramai orang berdatangan membawa segala macam senjata menuju ke arah sungai sambil berteriak.
“Itu rakitnya! Orangnya ada di gubuk!”
Yang sedang tiduran di gubuk segera bangun dan bingung melihat orang banyak kelihatan marah sekali. Yang paling depan seorang tinggi besar berkumis lebat dan brewokan berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala yang sama. Menyusul dibelakangnya orang yang hampir sama, tinggi bersar berkumis lebat tetapi tidak brewokan dan puluhan orang mengikuti dibelakangnya.
Ki Manca yang merasa paling tua segera menemui mereka.
“Ada apa Ki Sanak kok ramai-ramai kemari?”
“Mana orang yang berani kurang ajar terhadap isteriku?”
“Sabar dulu, kalau ada masalah kita bicarakan dulu. Siapakah anda ini?”
“Aku Ki Bahureksa Kepala Desa di sini dan ini adikku Ki Jalumampang.”
“Lalu ada masalah apa sehingga kalian begitu marah kelihatannya,”
“Isteriku sedang mencuci tetapi ada laki-laki kurang ajar yang berani menggodanya.”
Tiba-tiba Mas Karebet maju dan mencoba memberi penjelasan.
“Nama saya Karebet, Ki. Saya tidak bermaksud kurang ajar terhadap isterimu Niken Sumiati.
Aku hanya mengagumi kecantikannya, bahwa di desa ini ada kembang yang sedang mekar.”
“Tutup mulutmu!” Dan tanpa diduga Ki Bahureksa segera menerjang Mas Karebet dan terjadilah pergulatan yang sengit karena dua-duanya memang orang-orang yang mempunyai kesaktian. Sementara Ki Jalumampang beserta orang-orangnya segera menerjang Ki Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila. Perkelahian yang tak terkendali itu sempat merobohkan gubuk dan merusak tanaman padi di persawahan. Sementara sebagian lagi merusak rakit yang ditambatkan di tepi sungai.
Karena merasa terdesak maka Mas Karebet segera mengeluarkan ajian andalannya lebur sekethi dan dihantamkannya pada batu sebesar kerbau yang ada di tengah sawah. Terdengar ledakan keras dan percikan api, maka hancurlah batu hitam itu berkeping-keping.
Melihat kejadian tersebut Ki Bahureksa dan Ki Jalumampang segera meloncat mundur dan menyerah kalah.
Ketika Mas Karebet akan melanjutkan perjalanan, Ki Bahu Reksa dan Ki Jalumampang bersedia membantu perjalanannya. Ki Surantani sebagai Jagabaya Desa Kedung Srengenge membawa orang-orang warga Kedung Srengenge untuk membantu dengan rakit yang jauh lebih besar. Dan melajulah rakit itu karena didayung oleh 40 orang.
*dari berbagai sumber