Cerpen
KIDUNG KERINDUAN
(Odi Pandanwangi)
Langit cerah bertaburan bintang dan angin malam berhembus dingin serasa menusuk tulang, sementara tangan Reny masih bertumpu di ambang jendela sebuah villa di Cisarua yang menghadap hamparan rumput hijau di lembah. Sayup-sayup terdengar lagu Mother, how are you today dari villa di sebelahnya yang diisi satu keluarga yang sedang berlibur. Tony dilihatnya masih tidur kelelahan dan mendengkur dengan irama yang teratur sementara botol wyne yang sudah kosong tergeletak di lantai dan puntung rokok berserakan di meja.
Ketika tiba pada syair I found the love of my dreams, matanya menerawang jauh dan tanpa terasa air matanya menetes perlahan membasahi pipinya.
Sore itu di restoran sebuah hotel berbintang yang dipadati tamu terdengar suara gadis cantik mengalun merdu mendendangkan lagu Mother how are you today dengan penuh penjiwaan diiringi denting piano dan gesekan biola yang mengalun. Ketika lagu itu selesai dinyanyikan disambut tepuk tangan para pengunjung. Penyanyi cantik itu mengucapkan terima kasih dengan membungkukkan badan sambil memperkenalkan dirinya yang bernama Reny, diiringi denting piano oleh Hendri dan gesekan biola oleh Tony. Mereka adalah pemusik dan penyanyi tetap di hotel tersebut dan dikenal oleh para pengunjung restoran sebagai grup yang kompak dan harmonis.
Hendri dan Tony adalah teman satu kost dan juga teman satu angkatan di Institut Seni Indonesia jurusan musik dan mereka berdua datang dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah Hendri seorang Guru Sekolah Dasar di lereng Gunung Lawu sementara ayah Toni bekerja sebagai pengantar surat pada sebuah kantor Pos. Mereka merupakan teman akrab yang tak pernah terpisahkan dalam suka dan duka, baik di tempat kost maupun kampus tempat mereka menimba ilmu.
“Hen, besuk selesai kuliah kamu mau kerja dimana?” tanya Tony di suatu sore.
“Aku pengin jadi guru seperti pesan bapakku. Kalau kamu mau kemana?”
“Rencanaku cari nafkah di kota besar, sebentar lagi bapakku pensiun.”
“Kamu masih punya rokok?”
“Tinggal sebatang, kita bagi dua saja.” Dan merokoklah mereka berdua dengan nikmatnya.
Mereka berjuang mencari ilmu dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, sehingga kalau kiriman dari orang tuanya telat larinya ke Mbok Sarmi yang punya warteg. Mbok Sarmi pun sudah hafal bahwa banyak anak mahasiswa yang ngebon diwarungnya untuk sekedar makan nasi berlauk tempe.
Ketika selesai kuliah Hendri kembali ke kampung halamannya sambil mencari lowongan untuk menjadi guru dan memberikan les musik. Sementara Tony di Jogja bekerja di restoran sebuah Hotel yang besar sebagai pemusik tetap.
Hendri yang menjadi guru honorer di sebuah sekolah dikampungnya sudah bertahun-tahun menunggu pengangkatan namun tak kunjung tiba juga.
Ketika mendengar Tony sudah mendapat pekerjaan yang lumayan mapan, segera menyusul ke Jogja dan bergabung bersamanya.
Kini mereka main berdua dan sungguh kompak permainannya sehingga banyak tamu restoran yang memujinya. Nasib mereka berdua sedikit demi sedikit mulai terangkat berkat kehadiran Reny seorang penyanyi yang cantik.
Dalam perjalanan waktu kemudian Reny dan Hendri sepakat untuk membangun rumah tangga, dan diberkati di sebuah gereja kecil di atas bukit.
Tony kemudian meninggalkan mereka berdua menuju Jakarta untuk bergabung dengan sebuah mini orchestra. Tony membawa pergi hatinya yang perih karena sesungguhnya dia juga mencintai Reny, tapi Reny telah memilih Hendri sebagai pasangan hidupnya yang seiman.
Pada mulanya perjalanan rumah tangga Reny dan Hendri terlihat begitu harmonis dan bahagia, apalagi setelah mendapat anugerah bayi perempuan yang mungil, Suci buah cinta mereka.
Sekarang mereka cuma tampil berdua menghibur tamu di hotel itu, dan terasa penggemarnya mulai berkurang karena permainannya tidak sebagus ketika masih bertiga dulu.
Dengan sendirinya penghasilan merekapun juga mulai berkurang, padahal sekarang sudah ada Suci buah hati mereka yang memerlukan beaya perawatan yang lumayan banyak.
Hendri sudah berusaha mencari tambahan kemana-mana antara lain dengan memberikan les, bergabung dengan musik jalanan, namun penghasilannya tak kunjung mencukupi juga.
Rumah tangga mereka mulai kurang harmonis karena Reny tidak bisa menerima keadaan seperti tu. Mereka sering cek-cok dan puncaknya, Reny meninggalkan Hendri dan Suci dengan alasan mencari pekerjaan. Tinggallah Hendri sendiri yang semakin bingung karena harus mengasuh Suci yang baru belajar berjalan.
Reny merantau ke Jakarta dan bekerja di sebuah restoran dengan gaji yang tidak seberapa besar. Suatu saat tanpa diduga Reny bertemu dengan Tony yang sedang makan-makan di restoran itu bersama teman-temannya.
“Ren, sejak kapan kamu bekerja di sini? Suaramu kan bagus, lebih baik kamu ikut
grup aku saja, ya.”
Melihat penampilan Tony yang terlihat sukses, tanpa pikir panjang Reny mengiyakan saja.
Cinta Tony yang sudah lama hilang dan tenggelam kini mulai bersemi kembali setelah bertemu Reny dan merekapun tinggal di rumah Tony yang lumayan bagus di pinggiran kota Jakarta. Mereka kemudian hidup bersama layaknya suami isteri dan Reny sudah tidak ingat lagi pada Hendri dan Suci, apalagi kepada Tuhan yan selama ini juga ditinggalkannya akibat pengaruh kehidupan di kota besar.
Sebagai penyanyi di klub yang cukup mapan, penghasilan Reny juga semakin baik namun habis untuk menuruti gaya hidupnya. Belakangan ini Reny sering merasa sesak nafas akibat sering menghisap asap rokok ditempatnya mencari nafkah, sehingga mulai sakit-sakitan dan badannya semakin kurus. Melihat kondisi tubuh Reny yang demikian itu Tony merasakan hidupnya mulai terganggu dan tidak nyaman lagi, sehingga dia mencari wanita idaman lain yang kelihatan lebih segar. Hati Reny menjadi hancur melihat kenyataan itu, apalagi sering kena marah bahkan terkadang mendapat perlakuan yang kasar dari Tony. Mau protes? Tidak mungkin, karena tidak ada ikatan perkawinan diantara mereka.
Terjadilah pergumulan yang hebat dalam batinnya menghadapi kenyataan itu.
Sedikit-demi sedikit ingatannya mulai timbul kembali ke kehidupannya bersama Hendri dan Suci.
Dia baru menyadari betapa besar dosanya meninggalkan orang-orang yang sangat mengasihinya, apalagi Suci buah hatinya yang masih kecil.
Hatinya gelisah bukan main menyadari betapa selama ini dia telah melalaikan kodratnya sebagai seorang ibu yang begitu tega meninggalkan suami dan anaknya yang masih kecil, apalagi kemudian hidup bersama dengan Tony yang akhirnya membuatnya hidupnya menderita lahir dan batin.
Lagu Mother, how are you to day pelan-pelan menghilang dan Reny bagai tersentak ketika telinganya serasa mendengar tangisan anak kecil yang memilukan. Hatinya tercekat seolah ada perasaan yang menusuk dan menyayat hatinya dan tiba-tiba timbul rasa rindu sekali kepada Suci buah hatinya.
Tanpa pikir panjang ditinggalkannya Tony yang masih tidur dan lari meninggalkan villa itu.
Sepanjang perjalanan di kereta yang lumayan penuh karena libur panjang yang membawanya ke kota Jogja Reny lebih banyak diam. Pikirannya melayang tak karuan dan dadanya menjadi sesak, apalagi dia baru tahu kalau besok itu hari Minggu Paskah.
Tiba di Setasiun Tugu sudah saat malam Paskah dan kota diguyur hujan lebat disertai angin. Dia masih hafal betul dimana Hendri tinggal bersama Suci dan berharap belum pindah rumah. Sambil berlari-lari kecil serta berurai air mata dibawah guyuran hujan dia hanya berkerudung jaket saja sehingga badannya basah kuyup.
Di sebuah rumah reyot di gang yang sempit Hendri sedang menggendong anaknya Suci yang sedang demam tinggi. Suci menangis menjerit-jerit sambil sesekali memanggil nama ibunya.
“Mama pulaang . . mamaaa . . . .”
Hendri pun tak kuasa menahan air matanya dan terasa begitu perih di dada karena tangisan anaknya.
Di depan rumahnya yang gelap dan becek terguyur hujan seorang wanita berjalan terhuyung-huyung dengan nafas tersengal-sengal. Bersamaan dengan kilat yang meyambar dan jerit Suci yang melengking terdengar teriakan lemah.
“Suciii . . anakku . . maafkan mama, naaaak . . . “ tiba-tiba tubuh wanita itu menjadi oleng dan jatuh terjerembab mencium lumpur.
Reny telah kembali ke pangkuan penciptanya sebelum bertemu Suci buah hatinya ketika hujan belum juga berhenti.
Gunungsindur malam Paskah’21