Renungan Minggu 1 November 2020
KASIH SETIA ALLAH SUMBER KESETIAAN KITA (Mazmur 107: 1-9)
“Biarlah mereka bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia.”
(Mazmur 107:8)
Dipimpin oleh : Pdt. Simon Rachmadi, Ph.D
Kasih Setia Allah Sumber Kesetiaan Kita
Menurut Bapak/Ibu/saudara, mana yang lebih sering menghadapi problem kesetiaan, generasi tua atau generasi muda?
Kesetiaan, secara sederhana kita artikan sebagai ketetapan hati atas janji atau pendirian yang dimiliki.
Ya, setiap orang tentu bisa menghadapi problem kesetiaan semacam ini. Setiap orang bisa melanggar janji yang pernah dipegangnya.
Kesetiaan, sebagai sebuah ikatan mendalam jangka panjang, menjadi pokok teologis dalam Mazmur kita saat ini. Allah yang dikenal, disapa, dan disembah umat Israel adalah Allah yang merelasikan diri, mengkoneksikan diri dengan umat-Nya dalam sebuah. ikatan mendalam yang didesain jangka panjang, bukan didesain untuk jangka pendek .
Mazmur 107 ini merupakan nyanyian syukur umat Israel yang mengalami kasih setia Allah, yang diterima melalui karya penebusan Allah dalam hidup mereka. Penebusan Allah dialami umat tidak hanya dari kungkungan problem kehidupan sosial-jasmani umat, namun juga kungkungan problem kehidupan rohani umat.
Misalnya, terkait dengan problem kehidupan sosial-jasmani, lazim pada masa itu, ketika umat jatuh miskin dan harus menjual sebagian tanahnya, pertolongan Allah dirasakan melalui kerabatnya yang mau menebus tanah yang dijual tersebut dan diberikan kembali kepadanya. Kebaikan hati kerabatnya ini disyukuri sebagai wujud kasih setia Allah yang menolong mereka.
Terkait problem kehidupan rohani, umat sering merasakan dirinya sebagai kafilah jiwa, pengembara di padang pasir yang merasakan lapar dan haus jiwanya, namun pada akhirnya jiwa yang haus dan lapar ini dipuaskan oleh Allah, yang berkenan menunjukkan jalan yang lurus dan benar hingga sampai tujuan.
Melalui mazmur seperti inilah, kesetiaan Allah dihayati, dirasakan, dan dialami oleh umat. Umat menyadari: kasih setia Allah bersifat permanen, bukan temporerer. Kasih setia-Nya tetap, bukan sementara. Kasih-Nya begitu dalam dan bertahan lama, bukan dangkal dan cepat berlalu. Kasih setia Allah semacam inilah yang pada akhirnya menjadi sumber kehidupan umat untuk mengembangkan kesetiaan mereka dalam beragam kehidupan yang dialami.
Ketika Allah merelasikan, mengkoneksikan diri-Nya dalam sebuah kesetiaan yang permanen dengan umat-Nya, umat semestinya tidak membalas-Nya dengan kesetiaan yang temporer. Kesetiaan kita pada Allah janganlah menjadi kesetiaan jangka pendek, melainkan tetap mewujud dalam kesetiaan jangka panjang.
Amin.
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.