MENAPAKI JALAN HIDUP SEBAGAI UMAT YANG PERCAYA PADA JANJI ALLAH SANG BAPA (ROMA 4:13-25)

“Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah.” (Roma 4: 20)

Menapaki Jalan Hidup Sebagai Umat Yang Percaya Pada Janji ALLAH SANG BAPA

Mari menapaki hidup kehidupan dengan meneladani iman percaya Abraham, sosok yang dihadirkan ulang oleh Rasul Paulus melalui suratnya kepada umat Tuhan di Roma.
Membuat semakin jelas bagi kita bahwa dasar pembenaran Abraham adalah iman, bukan karena melakukan Taurat atau sunat.
Jika Taurat yang mendasari keselamatan manusia, maka keselamatan yang diterima tergantung pada kemampuan manusia melakukan Taurat. Padahal tak seorang pun dapat melakukan Taurat secara sempurna, yang memungkinkan ia diselamatkan.

Lalu apakah pembenaran oleh kasih karunia itu melalui iman percaya berlaku hanya untuk Abraham? Tidak.
Penggenapan janji dalam bukan hanya berlaku bagi keturunan Abraham melalui Ishak, tetapi juga bagi semua orang karena peranan Abraham sebagai bapak bagi orang percaya.
Dari teks dan konteks Surat Roma di refleksi Minggu kita kali ini, secara substansi termaktub di agama Yahudi dan hampir semua agama dunia: taat kaidah moral Ilahi mendatangkan perkenan dan keselamatan dari Allah.

Pertama, fakta sejarah. Abraham adalah nenek moyang bangsa Israel. Ia dibenarkan karena memercayai janji akan beroleh keturunan bukan karena Taurat (ada di ayat pertama kita, ayat 13).
Kedua, jika beroleh keturunan Abraham itu disebabkan melakukan Taurat maka janji Allah sebelumnya menjadi sia-sia dan batal (baca ulang ayat 14).
Ketiga, fakta moral bahwa tidak ada seorang pun dapat menggenapi Taurat. Jadi, Taurat bukan jalan keselamatan, tapi alat pembongkaran dosa yang mendatangkan murka Allah (ayat 15 menegaskan refleksi tentang iman percaya).

Lalu apakah iman yang membuat Abraham dibenarkan? Iman bukan bertumpu pada kekuatan kemauan Abraham sebab bila demikian iman berubah menjadi usaha. Iman yang membuat Abraham dibenarkan adalah menyambut janji Allah, berpegang pada kuasa-Nya mencipta dan menghidupkan yang mati dan berharap terus kepada Allah yang setia kepada firman-Nya (baca ulang maknai ayat 17 & 18) meski fakta dirinya dan Sarah sebenarnya tidak mungkin beroleh keturunan. Iman Abraham tidak didasarkan atas kondisi apa pun dari dirinya, tetapi didasarkan atas kuasa dan kesetiaan Allah semata.

Pengalaman Abraham dapat menjadi pelajaran bagi kita kini. Allah meminta iman percaya yang sama juga ada pada kita. Kita harus paham bahwa diri kita tak mampu berbuat apa-apa agar layak memasuki hadirat Allah.
Maka kita harus percaya pada Kristus yang oleh Allah, telah menjadikan diri-Nya sebagai jalan bagi manusia menuju Allah. Kita harus percaya pada Kristus yang oleh Allah, telah menjadikan diri-Nya sebagai jalan bagi manusia menuju Allah (lihat dan refleksikan kembali Nas kita Minggu ini di ayat 20, juga hingga ayat 25). Jalan keselamatan yang dari Allah tak pernah dapat dicapai melalui sekadar (walau inipun tidak mudah) melalui perbuatan baik.
Namun mari membagikan lebih banyak perbuatan baik karena sudah diberkati, sedang menerima, dan akan terus dianugerahkan

Kebaikan-kebaikan Tuhan. Mari kita menapaki, ya setapak demi setapak, setiap hari menjalani hidup lebih sungguh sebagai umat penggenapan demi penggenapan Janji Tuhan, semakin menjadi “garam dan terang dunia” hanya oleh anugerah melalui iman percaya.

Amin.

Media: GKJ-N/No.02/06/2023

Oleh: Pdt. Lusindo YL Tobing, M.Th.

Share