KASIH BAPA BAGI KELUARGAKU DENGAN PERANTARAAN ANAK-NYA
(IBRANI 1: 1-4)
”pada zaman akhir ini Ia berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai ahli waris segala sesuatu.” (Ibrani 1: 2, TB2)
Kasih Bapa Bagi Keluargaku Dengan Perantaraan Anak-NYA
Apakah ada di antara kita dan keluarga kita yang punya perasaan bahwa selama ini tidak menerima kasih Allah Bapa? Saya harap tidak ada keluarga yang punya perasaan semacam itu. Namun memang bisa saja seseorang dan keluarganya merasa tidak menerima kasih Bapa. Perasaan ini bisa muncul saat keluarga sedang berada dalam persoalan hidup yang berat. Beban berat kehidupan bisa membatasi daya rasa dan daya iman keluarga terhadap karya Allah dalam keluarga. Perasaan tersebut terasa dalam keluh kesah seperti ini: Benarkah Allah memperhatikan keluarga kami? Jika Allah memperhatikan dan peduli kepada keluarga kami, mengapa kami harus mengalami peristiwa semacam ini? Mengapa Allah tidak mengangkat beban berat kami?
Allah Bapa tentu saja peduli dan memperhatikan manusia. Ia selalu mengkomunikasikan perhatian dan kepedulian-Nya. Perhatian dan kepedulian-Nya terwujud dalam kasih-Nya. Sosok ilahi (Allah) yang punya rasa peduli tampaknya tidak terlalu mudah diterima oleh orang-orang Yunani dan Romawi waktu itu. Mereka biasa meyakini yang ilahi (dewa-dewi) tidak mempunyai perasaan senangatau susah. Apatheia. Pemahaman ini didasarkan pada pengakuan bahwa ada perbedaan besar antara yang ilahi dengan manusia. Jika yang ilahi ini bisa sedih, senang, terharu, bahkan menyatakan kasih, yang ilahi semacam ini tidak ada bedanya dengan manusia. (Darmaputera 2014, 12).
Umat Kristen pada masa itu, pada dasarnya juga mengakui ada perbedaan besar antara Allah dan manusia, antara Sang Pencipta dan ciptaan. Namun demikian, keyakinan semacam ini tidak mengakibatkan mereka menutup mata terhadap keterlibatan dan kehadiran emosi Allah dalam hidup mereka. Allah selalu menjalin komunikasi dan mengkomunikasikan diri-Nya kepada umat-Nya. Penulis Ibrani mengemukakan hal ini: pada zaman dahulu Allah mengkomunikasikan diri-Nya melalui perantaraan nabi-nabi, pada zaman sekarang melalui perantaraan anak-Nya. Melalui perantaraan Anak-Nya, emosi Allah mewujud dalam kasih-Nya. Allah bukanlah apatheia, yang tidak punya perasaan. Allah punya perasaan yang mewujud dalam kasih-Nya.
Jadi, setiap keluarga Kristen tidak perlu meragukan perhatian dan perasaan Allah pada mereka. Allah punya rasa, dan rasa itu mewujud dalam kasih-Nya. Setiap sakramen perjamuan yang kita terima juga menegaskan rasa Allah terhadap manusia. Rasa Allah ini dipenuhi dengan cinta kasih-Nya yang tiada habis-habisnya, melalui perantaraan Sang Putra, Yesus Kristus. Hidup kadang memang bisa kita rasakan berat dengan segala beban yang ada, namun Allah yang merasa, akan memampukan kita merasakan kasih, kehadiran dan pertolongan-Nya dalam hidup kita.
Amin.
Media: GKJ-N/No.01/10/2024
Oleh: Pdt. Dr. Agus Hendratmo