KITA TELAH DITENTUKAN MENJADI ANAK-ANAK-NYA (EFESUS 1: 3-14)
”Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula melalui Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,”
(Efesus 1: 5, TB2)
Kita Telah Ditentukan Menjadi Anak-Anak-Nya
Semua orang pernah merasakan menjadi anak. Namun tidak semua orang pernah merasakan menjadi anak yang memiliki orang tua. Ada anak-anak yang sudah menjadi yatim piatu sejak lahir/bayi, sehingga tidak bisa merasakan kasih sayang orang tua kandungnya. Namun demikian, profil seorang bapak atau ibu tidak selalu harus ditemukan dalam diri orang tua kandung mereka. Anak-anak yang diadopsi juga bisa merasakan cinta kasih yang tulus yang diterima dari orang tua angkatnya, sebaliknya orang tua angkat juga bisa sepenuh hati memberikan cinta kasih tulus bagi anak angkatnya.
Dalam dunia Romawi-Yunani waktu itu, praktik adopsi anak biasa terjadi. Ada ritual dan pengesahan negara yang dilakukan. Setelah ritual adopsi, anak yang diadopsi harus dibawa ke pejabat kehakiman Romawi untuk mendapat pengesahan. Setelah proses adopsi sah, anak tersebut mendapat hak sebagai anak yang sah dalam keluarga baru tersebut.(Barclay 2017, 118). Hak anak adopsi dan anak kandung tidak ada bedanya. Di hadapan orang tua mereka, mereka setara.
Rasul Paulus memakai konsep adopsi ini, ketika menyampaikan keyakinannya kepada orang percaya bahwa orang-orang percaya telah ditentukan sejak semula menjadi anak-anak-Nya. Orang-orang percaya adalah anak-anak (adopsi) Sang Bapa. Di ayat 5 ini, dipakai kata Yunani huithesia, berasal dari kata hyios, anak, dan tithemi, mengangkat, menempatkan. Dalam terjemahan Alkitab bahasa Inggris, dipakai kata adoption. Dalam kosa kata teologis, adopsi bernada positif, bukan negatif. Tidak ada pikiran anak adopsi lebih rendah dibandingkan anak kandung. Ingat, mereka punya hak yang sama.
Rasul Paulus melihat adopsi orang percaya sebagai anak-anak Allah, semata-mata adalah anugerah. Dikatakannya di ayat 6, “..terpujilah anugerah-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia…”. Anugerah ini berdampak besar bagi orang percaya karena dalam adopsi inilah kita jelas dimeteraikan menjadi milik Allah Bapa.
Dalam kepemilikan Allah Bapa, orang percaya juga akan memperoleh warisan-Nya. Tentu saja bukan warisan harta benda duniawi, melainkan berkat surgawi keselamatan dan kesatuan abadi bersama-Nya.
Jadi, selalu ingatlah kita ini memang keluarga Allah. Bukan keluarga iblis. Menjadi bagian dari keluarga Allah, dengan sendirinya mempunyai hak dan tanggung jawab. Hak kita adalah keselamatan dan kesatuan abadi bersama-Nya, sedangkan tanggung jawab kita adalah mewujudkan kemuliaan Allah dan kasih Allah dalam hidup kita. Oleh sebab itu, jangan sampai nama Allah tercemar karena pikiran, perkataan, dan perilaku kita yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya.
Amin.
Media: GKJ-N/No.02/07/2024
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.