TANPA TUHAN, SEMUANYA SIA-SIA
(MAZMUR 127: 1-5)

”Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah jerih payah orang yang membangunnya…” (Mazmur 127: 1, TB2)

Tanpa TUHAN, Semuanya Sia-Sia

Siapa butuh Tuhan? Manusia dengan segala teknologinya sudah demikian berkembang. Masih perlukah manusia meminta tolong Tuhan untuk menjalani hidup ini? Kira-kira semacam inilah yang dipikirkan para ateis di zaman sekarang ini, yang merasa tidak lagi perlu percaya kepada Tuhan. Para ateis ini juga meyakini untuk menjadi orang baik dan bermoral, tidak perlu terlebih dahulu percaya kepada Tuhan.

Pandangan semacam ini jelas bukan pandangan yang dipercaya oleh sang pemazmur. Memang konteks yang dihadapi sang pemazmur bukan konteks keyakinan terhadap Allah versus pandangan orang-orang yang tidak percaya Allah. Ateisme sebagai ideologi tidak muncul dalam konteks sang pemazmur.

Konteksnya adalah orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang percaya pada Tuhan. Namun demikian, kegagalan umat Israel terjadi karena mereka sering terjatuh memperlakukan Tuhan sebagai semacam “ban serep”. Orang baru datang dan berdoa kepada Tuhan, jikalau betul-betul merasa perlu Tuhan. Kalau tidak perlu, mengapa harus datang dan berdoa kepada Tuhan.

Sang pemazmur menegaskan Tuhan semestinya menjadi pusat dalam kehidupan orang percaya. Ini artinya, hidup kita harus selalu terarah kepada Tuhan. Jangan memperlakukan Tuhan sebagai yang terletak dalam pinggiran hidup kita. Tempat Tuhan dalam hidup kita adalah pusat bukan pinggiran. Kalau kita menempatkan Tuhan dalam pinggiran hidup kita, kita jelas memperlakukan Tuhan sebagai “ban serep”.

Itulah sebabnya, sang pemazmur menyatakan: Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah jerih payah orang yang membangunnya. Sejak awal, ketika umat hendak membangun rumah, Tuhan mesti terlibat dari awal hingga akhir. Kata rumah di sini, bisa dimaknai rumah fisik, rumah tangga, dan juga rumah ibadah, yakni bait Tuhan. Jangan di awal kita melibatkan Tuhan, tetapi di pertengahan dan selanjutnya, Tuhan diabaikan, karena merasa tidak perlu lagi.

Apa contohnya? Misal sepasang kekasih yang saat ibadah pernikahan diberkati Tuhan, namun setelah bertahun-tahun menikah lupa pada Tuhan. Mereka sering bertengkar dan merasa sudah tidak lagi perlu menghadirkan Tuhan dalam hidup keluarga mereka. Ketika sudah pada “ujung kehancuran”, baru datang minta tolong Tuhan. Artinya, Tuhan dipahami sebagai “ban serep” dalam kehidupan keluarga mereka. Tentu, “ujung kehancuran” ini tidak perlu terjadi, jikalau keluarga kita tetap menempatkan Tuhan dalam pusat kehidupan keluarga kita. Oleh karena itu, mari dalam segala apa pun, Tuhan kita persilakan hadir sebagai pusat kehidupan kita, sehingga perjalanan hidup kita tidak akan menjadi sia-sia.

Amin.

Media: GKJ-N/No.02/11/2024

Oleh: Pdt. Dr. Agus Hendratmo