Tetap Adil, Setia, dan Rendah Hati dalam Karya (Mikha 6: 1-8)
“…Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu? (Mikha 6: 8)
Perhatikan, saat kita berulang-ulang mengucapkan Doa Bapa Kami di setiap ibadah Minggu. Misalnya di bagian: seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Apakah setelah selesai berdoa kita sungguh-sungguh memberikan pengampunan pada orang yang bersalah kepada kita atau kita masih menyimpan ketidaksukaan, kebencian dan bahkan dendam pada orang tersebut? Walau kita berulang-ulang mengucapkan doa tersebut, tetapi tetap enggan mengampuni mereka yang bersalah kepada kita, berarti kita sudah terjebak dalam ritualisme ibadah, secara khusus ritualisme doa. Doa yang kita panjatkankan tersebut tidak lagi mampu mengubah hati kita untuk memberikan pengampunan.
Inilah salah satu persoalan yang dihadapi oleh umat yang tinggal di kawasan kerajaan Yehuda. Mereka begitu rajin dalam ritual agama: ibadah dan persembahan korban bakaran kepada Tuhan. Namun demikian, ritual ibadah tersebut tidak lagi bisa mengubah sikap hidup mereka dalam relasi moral dengan sesama. Mereka tetap saja bertindak jahat terhadap sesama mereka yang lemah. Dengan demikian mereka terjatuh dalam ritualisme agama. Ritualisme agama berbeda dengan ritual agama. Ritual agama penting, karena mampu mendekatkan diri pada Tuhan dan menyadarkan umat pada tanggung jawab moral pada sesama. Namun ketika sudah menjadi ritualisme, betapapun dilakukan berulang kali, tidak lagi mempunyai daya ubah bagi umat untuk hidup sesuai dengan kebenaran Tuhan.
Inilah yang diingatkan oleh Tuhan melalui nabi Mikha. Mereka telah melalaikan keadilan, kesetiaan, dan kerendahan hati dalam relasi mereka dengan sesama, walaupun mereka rajin beribadah. Secara sarkastis, Tuhan bahkan menunjukkan ketika harus memilih ritual bagi-Nya atau keadilan pada umat-Nya, Tuhan lebih menyukai keadilan bagi umat-Nya daripada korban bakaran bagi diri-Nya. Ritual yang dipersembahkan kepada Tuhan, tidak boleh menjadi ritualisme keagamaan yang kehilangan daya ubah agar umat menjadi lebih baik di hadapan Tuhan dan sesama.
Dengan demikian, mari kita olah segala ritual keagamaan kita agar tidak menjadi ritualisme keagamaan. Ketika kita berdoa tentang pengampunan, sungguh-sungguh kita mewujudkan pengampunan itu dalam karya dan pelayanan kita. Ketika kita berdoa agar yang hidup kekurangan mendapat berkat Tuhan, sungguh-sungguh kita juga siap menjadi saluran berkat Tuhan itu bagi sesama yang memerlukan. Amin.
Oleh: Pdt. Agus Hendratmo, M.Th.